gkjw.org -(Catatan Refleksi dalam menyambut 50 Tahun Haul Bung Karno).
2 – Pohon Ketangi - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 6 2 – Pohon Ketangi - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 6
3 – Memandang Matahari 3 – Memandang Matahari
1. Catatan Pendahuluan
RUU-HIP menuai polemik publik. Beberapa orang menuduh bahwa Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila adalah merupakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Benarkah? Tuduhan itu khususnya berkaitan dengan Pasal 7 draf RUU Haluan Ideologi Pancasila yang memuat klausul mengenai Trisila dan Ekasila, sesuai dengan usulan Bung Karno mula-mula dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945, yang akhirnya lebih dikenal sebagai “Lahirnya Pantja-Sila” tersebut.
Lebih jelasnya, Pasal 7 draf RUUHIP, yang dipersoal-kan itu terdiri dari 3 ayat yang berbunyi:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dalam kesatuan;
(2) Ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong royong.
2. Lalu, Manakah Yang Dianggap Mengkhianati Bangsa dan Negara ?
Faktanya, Trisila dan Ekasila justru berasal dari dokumen “Lahirnya Pantja-SIla”, pidato Bung Karno sebagai satu-satunya yang dibahas dalam sidang Panitia kecil yang akhirnya dicantumkan dalam Alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Jadi, Trisila dan Ekasila terdapat dalam babon atau bahan dasar ideologi negara yang dibahas dalam sidang Panitia Kecil. Memang, istilah “diperas menjadi trisila”, “diperas lagi menjadi ekasila” itu bukan bahasa hukum, dan apa yang diucapkan Bung Karno itu baru usulan kepada sidang BPUPKI, yang akhirnya dibahas lebih mendalam dalam sidang Panitia kecil yang juga dilakukan atas prakarsa Bung Karno.
Bung Karno tidak sedang berbicara tentang "Stufentheory", atau hirarki perundang-undangan a-la Hans Kelsen. Kata “diperas” bukan bahasa hukum, tetapi harus dimaknai sebagai upaya mencari "meeting point" dalam proses dinamis pembahasan dasar negara untuk Indonesia merdeka yang akan didirikan bersama-sama. Lagi pula, substansi pidato 1 Juni 1945 itu juga bukan hal yang mendadak dan tiba-tiba muncul, melainkan lahir dari pergulatan pemikiran Bung Karno mengenai proses panjang sejarah perjuangan bangsa, khususnya berangkat dari fakta kemajemukan Indonesia.
Kita harus melihat pidato 1 Juni sebagai “helaan mandat sejarah” yang memang tidak bisa dilepaskan dari situasi zaman saat itu, yang tidak bisa lihat dari “kacamata” kita sekarang. Misalnya, mengapa Bung Karno mengusulkan sila pertama Kebangsaan? Karena menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, mungkin untuk konteks zaman saat itu, bisa-bisa disalah mengerti sebagai sistem theokrasi oleh kaum kebangsaan yang menghendaki sistem legitimasi “non-agamis". Sebab saat itu belum lama munculnya sekularisme Turki yang lahir sebagai kritik kebablasan terhadap sistem kekhalifahan Utsmani, yang sebelumnya telah banyak dikritik oleh negara-negara Arab sendiri.
Sebaliknya, kalau Bung Karno berbicara tentang Nasionalisme an sich, rawan disalahpahami sebagai “chauvinisme" yang lagi panas-panasnya mengudara di langit Eropa. Itu gara-gara “sakit gila” Hitler dengan dalilnya: “Deutschland Uber Alles” (Tiada bangsa setinggi Jerman). Karena itu, Bung Karno menegaskan “Nasionalisme harus tumbuh subur di taman-sarinya Internasionalisme”. Inilah yang disebut Bung Karno sebagai Sosio-Nasionalisme. Begitu pula, berbicara Demokrasi an sich akan dibaca sebagai kelemahan demokrasi liberal, yang hanya mengandung demokrasi politik tanpa keadilan sosial.
Karena itu, Bung Karno menggagas demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang harus berjalan bersamaan.Itulah yang disebutnya Sosio-Demokrasi. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi adalah embrionya Pancasila yang akhirnya diusulkan oleh Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945. Trisila dan Pancasila itu laksana "pedhèt" (anak sapi) dan sapinya. Runutannya, Trisila lahir dari semangat ekasila atau gotong royong. dan Pancasila adalah wujud pendewasaan Trisila setelah melalui penggodogan dalam kawah “candradhimuka”-nya perjuangan rakyat Indonesia.
3. Apakah "Ekasila" Gotong Royong Menghapuskan Ketuhanan Yang Mahaesa ?
Tuduhan bahwa “ekasila” Gotong Royong akan menghapuskan Ketuhanan Yang Maha Esa ini adalah bias Orde Baru yang berusaha melakukan “De-Soekarnoisasi”, dengan cara melepaskan Pancasila dari penggalinya. Mengapa? Gotong royong itu semangat dinamis dan tekad bulat segenap rakyat untuk bersatu dan bersama-sama mendirikan negara-kebangsaan (Nationale Staat), mengatasi sekat-sekat perbedaan dalam suku, adat istiadat, bahasa-bahasa daerah, agama dan perbedaan primordial lainnya.
Pancasila tidaklah muncul tiba-tiba. “Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu”, kata Bung Karno dalam pidato Lahirnja Pantja-Sila. Ya, kita bisa melacaknya dari jejak juang bangsa Indonesia yang diformulasikan dalam ideologi perjuangan Bung Karno. Gagasan Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi telah menghiasi surat-surat kabar Hindia Belanda jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Karena itu, tuduhan bahwa ekasila akan menghapuskan Ketuhanan, sulit dimengerti akal sehat.
Bacalah, artikel “Sukarno” oleh Soekarno, yang dimuat Surat Kabar Pemandangan, 14 Juli 1941:
“…dalam cita-cita politikku, aku ini seorang nasionalis, dalam cita cita sosialku aku ini sosialis, di dalam cita-cita sukmaku aku ini sama sekali theis. Sama sekali percaya kepada Tuhan, sama sekali mengabdi kepada Tuhan". Jadi, Bung Karno dengan penghayatannya yang unik tentang agamanya dalam konteks kemajemukan, benar-benar seorang yang amat religius.
Sebab, di tengah-tengah berkecamuknya perang dingin antara “blok Kapitalis” dan “blok Komunis”, yang saat itu laksana membelah dunia, dengan lantang Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai “hoggere optrekking” (sublimasi, pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi) dari “Declaration of Independence”-nya Amerika dan Manifesto Komunis. Kritik bahwa demokrasi politik harus berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi, disuarakannya dalam pidatonya Build The World A New (Membangun Dunia Kembali), di depan sidang Umum PBB, tanggal 30 September 1960.
“Declaration of Independence”, tegas Bung Karno “menuntut life, liberty and the pursuit of happiness, yaitu hak hidup,hak kebebasan,dan hak mengejar kebahagiaan bagi semua manusia. Padahal pursuit of happiness (pengejaran kebahagiaan) belum berarti reality of happiness (kenyataan kebahagiaan)”. Lalu manakah yang lebih baik? “Kita bangsa Indonesia”, lagi kata Bung Karno dalam Jalannya Revolusi kita, 17 Agustus 1960, “melihat bahwa Declaration of Independence itu tidak mengandung keadilan sosial atau sosialisme dan kita melihat bahwa Manifesto Komunis itu masih harus di sublimir, dipertinggi jiwanya dengan Ketuhanan yang Maha Esa”.
Apa yang disuarakan Bung Karno bukan sekedar “propaganda”, melainkan benar-benar “praxis” kehidupan bangsa-bangsa seperti yang dibuktikannya dengan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika, di Bandung, 18-24 April 1955. Gaung konferensi yang digagas Bung Karno ini membahana di langit Timur dan Barat, sehingga mata dunia terus menatap takjub kepada Indonesia. Karena spirit revolusi Indonesia, di Mesir pidato Bung Karno “Penemuan Kembali Revolusi kita”, 17 Agustus 1959, telah diterjemahkan dalam bahasa Arab “al-‘Audah ilâ Iktisyâf Tsauratinâ”, diterbitkan oleh Dâr al-‘Arabiyyah li al-‘Ulûm, Cairo, 1959.
Pada bagian akhir terbitan pidato Bung Karno dalam bahasa Arab ini, dicantumkan glossary tentang falsafah bangsa Indonesia.
Dalam glossary buku tersebut, Pancasila dialih-bahasakan "al-Mabâdi al-Khamsah”, “Bhinneka Tunggal Ika” diterjemahkan: “al-Ta’addud fî al-Wihdah”, dan dijabarkan maknanya “ay ‘an ‘Indunisiyâ bi ragmi min ta’addud ‘aqâlîmihâ wa qâbâ’ilihâ takûnu wahdatan mutamâsikatan” (yaitu bahwa Indonesia meskipun terdiri dari berbagai wilayah dan suku bangsa yang berbeda-beda tetapi bersatu-padu dalam kesatuan yang teguh). Sedangkan yang lagi viral, kata “gotong royong”, yang dalam pidato Lahirnya Panta-Sila disebut “ekasila”, dalam “Al-‘Audah ilâ Iktisyâf Tsauratinâ” diterjemahkan dengan “al-Ta’âwun al-Musytarak” (A.G. Sya’ban, 2015).
4. Catatan Penutup
Sekali lagi, jangan curiga dengan kata “diperas”, dan jangan salah membacanya sebagai bahasa hukum. Berbeda dengan kata kekeluargaan yang statis, gotong royong adalah gawe, amal, karya bersama-sama yang dinamis, kristalisasi keringat, pembantingan tulang bersama demi cita-cita seluruh rakyat. Itulah “bahasa roh” yang menyala-nyala, bukan “bahasa hukum” yang baku dan kaku. Seperti adagium suci bahasa Yunani: “Gar gramma apoktennei to de pneuma zôpoiei” (Huruf itu mematikan tetapi roh itu menghidupkan).
Sekali lagi, dalam pidato Lahirnya Pantja-Sila, Bung Karno yang gandrung persatuan, di depan sidang Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai saat itu menawarkan “philosofische gronslag” dalam sistematik Pancasila, Trisila atau Ekasila. “Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih. Trisila, Pancasila atau Ekasila”, kata Bung Karno. Sidang panitia kecil akhirnya memilih lima sila itu, dengan beberapa perbaikan redaksional, lalu mencantumkannya dalam Pembukaan UUD 1945, meskipun menyebut Pancasila. Jadi, hanya dengan membaca pidato "Lahirnja Pantja-Sila" 1 Juni 1945 dan notulen sidang di Panitia Kecil kita bisa membaca “suasana batin” para bapa bangsa waktu itu, sebelum semua menyepakati Pancasila sebagai Dasar Negara.
"De Museum Cafe" Malang, 21 Juni 2020
Oleh Dr. Bambang Noorsena