gkjw.org -New Zealand mendeklarasikan keberhasilan mereka dalam menangani kasus COVID-19 di wilayahnya. Bisakah Indonesia menirunya?
Pagi ini seperti biasa saya awali dengan membaca berita dari portal media online. Lantas, saya tertuju pada sebuah pemberitaan soal New Zealand, sebuah negara yang terletak di timur Australia. Saya cukup tertarik karena negara yang satu ini bisa dikatakan punya kebijakan yang extraordinary dalam menangani penyebaran virus corona atau COVID-19.
Kembali ke topik, berita yang saya telah baca pagi ini melalui platform Kumparan.com adalah mengenai Perdana Menteri New Zealand Jacinda Ardern yang mendeklarasikan wilayahnya menang melawan virus corona. “Wow!” kurang lebih itu ucapan saya dalam hati setelah membaca berita tersebut. Bagaimana tidak “Wow!” negeri Kiwi itu bisa dibilang adalah negara pertama yang mendeklarasikan kemenangan melawan COVID-19.
Tidak berhenti sampai di situ, rupanya saya juga masih penasaran soal kebijakan apa yang diambil Jacinda Ardern sampai-sampai dirinya mendeklarasikan kemenangan itu. Mengingat, negara tempat tinggal saya Indonesia saat ini masih ribut masalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dampaknya masih belum diketahui secara pasti. Apakah gagal atau berhasil, apakah benar kebijakan itu bisa memutus penyebaran COVID-19. Nobody know, tunggu saja nanti hasilnya di portal berita online yang anda baca.
Usut punya usut, New Zealand ternyata memiliki kebijakan yang disebut Elimination oleh beberapa portal berita internasional. Istilah ini saya temukan di The Guardian dan TIME. Keduanya kompak menggunakan istilah itu untuk mendeskripsikan kebijakan yang diambil Ardern untuk memerangi COVID-19 di wilayahnya. Seperti apa Elimination ini dan apakah bisa diterapkan di Indonesia?
Michael Baker dan Nick Wilson, Profesor Departemen Kesehatan Publik Universitas Otago Wellington, dalam tulisannya di The Guardian menyebutkan Elimination ini mulai diterapkan oleh New Zealand pada pertengahan Maret 2020 lalu. Strategi ini sebelumnya diawali dengan langkah umum dalam menghadapi pandemi yakni menutup perbatasan dan mewajibkan orang-orang yang baru saja bepergian dari luar wilayah untuk melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Indonesia bukan?
Kembali ke Elimination, sebenarnya strategi apa ini? Baker dan Wilson menjelaskan, Elimination ini adalah kebijakan yang berbeda dengan langkah mitigasi pandemi pada umumnya. Sementara itu Amy Gunia dalam artikelnya di TIME menyebut Elimination ini sebagai salah satu kebijakan lockdown yang paling ketat. Ya, Elimination sendiri sebetulnya tidak jauh berbeda dengan lockdown. Beberapa hal yang dilakukan di antaranya menyuruh warganya untuk tidak melakukan aktivitas di luar jika memang benar-benar tidak penting, memperbolehkan warga untuk berolahraga di kompleks tempat tinggalnya, melarang aktivitas seperti berenang di pantai, menutup perbatasan, dan menutup seluruh sektor bisnis kecuali supermarket dan farmasi.
Diambilnya strategi atau kebijakan itu bukan tanpa resiko. Jika gagal, bukan tidak mungkin negara persemakmuran Britania Raya itu jatuh miskin. Mengingat, banyak sektor perekonomian yang harus benar-benar dihentikan selama Elimination. New Zealand perlu memperhitungkan dampak-dampak yang timbul dari penerapan kebijakan tersebut. Terutama soal dampak perekonomian yang mungkin timbul dari penerapan Elimination.
Gunia dalam tulisannya menyebutkan dampak ekonomi dari adanya Elimination ini yang terberat adalah pada sektor-sektor pendukung perekonomian New Zealand. Negara tersebut sangat bergantung pada sektor pariwisata dan industri pendukung pariwisata, yang mana sektor pariwisata menyokong 6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan 21% cadangan devisa negara tersebut sementara industri pendukung pariwisata menyumbang 4% PDB. Di samping itu, sektor pendidikan, yang berkontribusi pada $ 3 miliar pada perekonomian New Zealand, juga turut terdampak. Ini dikarenakan New Zealand menutup seluruh sektor bisnis di negaranya kecuali pada sektor yang mendukung kehidupan warga negaranya, seperti yang sudah saya tulis sebelumnya.
Meski begitu, pemerintah New Zealand tidak tinggal diam meski sektor perekonomian “terpaksa” dilumpuhkan untuk sementara waktu. Mengutip informasi dalam website resmi pemerintah New Zealand, mereka memberikan banyak subsidi yang tentunya mampu memberikan stimulus ekonomi di tengah kondisi wabah yang melanda wilayahnya. Berikut adalah daftar paket kebijakan ekonomi yang diambil New Zealand:
1. Menyiapkan $9-12 miliar subsidi pada bisnis yang terdampak untuk membuat pebisnis mampu mempertahankan pegawainya (mengurangi adanya Pemutusan Hubungan Kerja/PHK).
2. Mengalokasikan $500 juta untuk stimulus sektor kesehatan, menurut pemerintah obat terbaik untuk perekonomian adalah dengan membuat penyebaran virus tetap terkontrol.
3. Menyediakan subsidi sebesar $126 juta untuk orang-orang yang tidak bisa bekerja karena sakit akibat COVID-19, melakukan isolasi mandiri, atau tengah merawat kerabatnya.
4. Paket dukungan pendapatan $2,8 miliar untuk masyarakat yang paling rentan.
5. Paket pemindahan $100 juta, untuk menjaga lebih banyak warga Selandia Baru tetap bekerja.
6. Sebanyak $2,8 miliar perubahan pajak bisnis dilakukan untuk mengurangi tekanan arus kas, termasuk kenaikan ambang pajak sementara, pemulihan kembali depresiasi bangunan, dan penghapusan bunga atas keterlambatan pembayaran pajak.
7. Paket sebesar $600 juta untuk mendukung sektor penerbangan dan melindungi rantai pasokan New Zealand.
8. Menerapkan skema Jaminan Keuangan Bisnis $6,25 miliar untuk bisnis kecil dan menengah, untuk melindungi pekerjaan, dan mendukung perekonomian.
9. Paket $27 juta untuk layanan sektor sosial dan kelompok masyarakat sehingga mereka dapat terus memberikan dukungan penting kepada masyarakat.
10. Skema cuti untuk pekerja penting yang mengambil cuti dari pekerjaan untuk mematuhi panduan kesehatan masyarakat, memastikan mereka akan terus menerima pendapatan.
11. Dukungan lebih lanjut untuk usaha kecil dan menengah, termasuk skema pengembalian rugi pajak sebesar $3,1 miliar, perubahan aturan kesinambungan kehilangan pajak, dan dukungan konsultasi bisnis lebih lanjut
12. Fleksibilitas yang lebih besar untuk bisnis yang terkena dampak untuk memenuhi kewajiban pajak mereka.
Paket kebijakan perekonomian itu juga didukung dengan beberapa hal di antaranya:
1. Pemerintah, Bank Sentral dan bank ritel telah menyetujui pokok hipotek selama enam bulan dan menangguhkan pembayaran bunga untuk individu yang terkena dampak dan UKM.
2. Untuk melindungi penyewa selama masa sulit ini, pemerintah telah membekukan semua kenaikan sewa selama enam bulan, melarang penghentian sewa tanpa sebab untuk periode awal tiga bulan, dan melarang penggusuran karena sewa yang tidak dibayar hingga 60 hari.
3. Melakukan langkah-langkah untuk mendukung penyewa komersial dan pemilik tanah.
Dari penjelasan di atas, kita kembalikan pada pertanyaan utama dari artikel ini yaitu “Bisakah kebijakan atau strategi ini diterapkan di Indonesia?”. Secara pribadi saya pesimis jika kebijakan ini diterapkan. Kebijakan ini sangat mahal dan apabila gagal akibatnya bisa fatal. Baker dan Wilson bahkan menuliskan Elimination tidak direkomendasikan untuk low and middle income country. Indonesia masuk ke Middle Income Country dengan pendapatan nasional kotor hanya US$3.840 di tahun 2018 menurut data Macrotrends.net.
Selain itu, perlu diketahui juga bagaimana Baker dan Wilson juga menyoroti keberhasilan kebijakan Elimination ini juga didukung dengan tingginya kualitas kepemimpinan politik yang dilakukan oleh Ardern. Kepemimpinan Ardern yang brilian, tegas, dan manusiawi memiliki perang yang penting dalam perubahan cepat New Zealand dalam merespon COVID-19 dan menerapkan strategi Elemination yang sangat efisien.
Gunia berpendapat bahwa Perdana Menteri berusia 39 tahun itu telah mengambil langkah cepat dan tegas sesuai dengan saran pejabat kesehatan. Ardern melakukan komunikasi kepada publik dengan jelas dan sikap yang konsisten. Dalam beberapa kesempatan, Ardern juga memberikan pesan-pesannya melalui sesi khusus di Facebook Live yang disiarkan melalui kediamannya. Dia juga menenangkan warganya melalui sesi khusus tersebut saat lockdown ketat diberlakukan di negara itu.
"Pesannya jelas, konsisten, dan disampaikan dengan percaya diri. Tenang dan meyakinkan, meskipun dia (Ardern) belum berusaha untuk menutupi bahaya yang ditimbulkan pandemi terhadap kehidupan dan mata pencaharian," ujar Suze Wilson, dosen senior pengembangan eksekutif di Universitas Massey Auckland, seperti dikutip TIME.
Ardern dan pemerintahannya juga mendesak warga New Zealand untuk "Bersatu Melawan COVID-19" dengan cara yang elegant. Ardern memposisikan warganya sebagai “tim yang terdiri atas 5 juta orang” untuk membantu memenangkan dukungan publik terhadap dirinya untuk melakukan lockdown di negara itu. Seluruh warga mendukung kebijakannya. Lagi-lagi “Komunikasi Politik” berperan penting untuk memuluskan suatu kebijakan.
Faktor terakhir yang turut memberikan keberhasilan dari kebijakan ini adalah kondisi geografis New Zealand yang terisolasi dan tingkat kepadatan penduduknya. Kondisi geografis New Zealand memang terisolasi jarak terdekat dengan negara tetangganya sangat jauh yakni 2.500 mil (4023,36 km) di selatan Australia dan 1.200 mil (1931,213 km) di utara New Caledonia. Tingkat kepadatan penduduk di negara ini juga sangat rendah, sehingga secara tidak langsung kondisi ini membuat warga New Zealand sudah menerapkan physical distancing secara alami. Sebagai informasi, jumlah penduduk di Auckland, kota terbesar di New Zealand hanya 1,66 juta atau kurang dari 1/20 penduduk di New York, Amerika Serikat.
Pada akhirnya, kebijakan yang diterapkan oleh New Zealand berbuah manis. Negara tersebut pada akhirnya melonggarkan kebijakan lockdown di wilayahnya mulai 27 April 2020 secara bertahap. Layanan pendidikan mulai beroperasi, meskipun restoran dan pertokoan masih harus ditutup. Layanan pesan antar juga kembali dibuka seiring dengan pelonggaran kebijakan lockdown ketat ini.
Keasyikan membahas New Zealand sepertinya saya lupa untuk memberikan kesimpulan dari artikel ini. Kesimpulannya, Indonesia masih belum sanggup apabila harus meniru strategi dan kebijakan yang telah dilakukan New Zealand. Kebijakan Elimination tidak cocok diterapkan di Middle Income Country. Kondisi geografis Indonesia tidak terisolir seperti New Zealand. Banyak negara tetangga yang letaknya berdekatan. Kepadatan penduduk juga termasuk parah, mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 silam. Soal komunikasi politik, Indonesia masih perlu belajar banyak soal ini. Tirto.id telah mengkritik soal ini melalui artikel yang berjudul “Betapa Bermasalahnya Komunikasi Publik Menteri-Menteri Jokowi”. Apapun kebijakannya, selama tidak mendapat kepercayaan publik, pasti tidak akan berjalan dengan mulus.
Lugas Rumpakaadi, buka Instagram