gkjw.org -Saatnya untuk bicara lebih serius. Setelah keriuhan pendapat terkait penempatan dana abadi GKJW di sejumlah koperasi dan badan usaha investasi –menuai banyak perhatian termasuk di media sosial– saatnya memikirkan langkah perbaikan.
2 – Belajar dari Lomba Balapan 2 – Belajar dari Lomba Balapan
3 – Bukan Hantu Dalam Komedi 3 – Bukan Hantu Dalam Komedi
Pengakuan terbuka Pelayan Harian Majelis Agung (PHMA) akan kesalahan dalam mengelola dana, patut disambut dengan hati terbuka untuk perbaikan. Selain pengampunan dalam kasih agar menjadi pembelajaran bagi semua. Namun pekerjaan perbaikan juga perlu dipikirkan, agar tak terjerembab kembali.
Awalnya harus dipahami, dana abadi ini adalah salah satu saja dari asset, baik yang tetap maupun bergerak, di dalam organisasi besar bernama GKJW.
Salah satu pertanyaan yang mengemuka adalah: bagaimana cara sebuah organisasi mengelola aset yang dimiliki, agar peristiwa semacam salah kelola dana abadi GKJW ini tidak terjadi kembali?
Jawaban pertanyaan ini sebenarnya sederhana: tata kelola yang baik, atau good governance.
Ini mudah diucapkan, namun memerlukan integritas dan dedikasi untuk menjalankannya.
Jika kita membuka referensi manajemen maka tata kelola yang baik terdiri atas beberapa prinsip yang disingkat dengan istilah TARIF.
T adalah transparan (terbuka); A adalah akuntabilitas (menjaga kepercayaan); R adalah responsif (tanggap dalam memperbaiki hal-hal yang perlu); I adalah independent (tanpa konflik kepentingan) dan F adalah fair (jujur).
Apakah pengelolaan dana abadi GKJW mencerminkan prinsip-prinsip tersebut? Hal ini tak dapat dilepaskan dari praktik pengelolaan keuangan suatu organisasi. Sekali lagi, dana abadi ini hanya satu dari sekian banyak ekuitas yang dimiliki GKJW. Kasus yang telah muncul, sebenarnya mencerminkan pentingnya memotret tata kelola organisasi ini secara keseluruhan.
Pertama, tentunya soal transparansi. Pengelolaan kekayaan gereja itu memerlukan keterbukaan. Selama ini, mekanisme pertanggungjawaban dari pengelolaan aset selalu dilakukan dalam Laporan Keuangan pada forum internal khususnya antara PHMA dan Pelayan Harian Majelis Daerah (PHMD). Saya berpendapat, pertanggungjawaban semacam ini minimalis sekali dalam ukuran gereja sebesar GKJW.
Contohnya, akan sia-sia membela diri bahwa gereja telah menjalankan sesuatu dengan jujur, apabila tak ada akses informasi ke jemaat-jemaat, yang sebenarnya merupakan sendi pokok gereja.
Akan lebih baik jika laporan yang disampaikan ini dapat diakses secara selektif oleh jemaat, baik dengan mekanisme secara langsung (publikasi laporan di situs misalnya) atau tidak langsung melalui penunjukan suatu komite yang mewakili jemaat dan terpilih secara demokratis sebagai quality assurance dari pelaporan.
Kedua, mengenai akuntabilitas. Ini memang soal kepercayaan. Bagaimana cara agar asset gereja, khususnya dalam bentuk ekuitas, bisa dipercaya pengelolaannya oleh umat. Ini barangkali kelemahan dalam suatu sistem sinodial yang dianut oleh gereja: ketika urusan dogmatis gereja yang tersentralisasi menjadi juga cara mengelola aset gereja. Alhasil, umat tak memiliki akses untuk memahami bagaimana pengelolaan aset gereja dilakukan.
Marilah kita berprasangka baik. Gereja mestinya diurus oleh orang baik. Saya pun meyakini demikian. Namun, bila kita berkaca dari persoalan yang muncul, maka seyogianya perlu dipikirkan bagaimana kepercayaan ini dapat dijamin. PHMA harus bisa membangun mekanisme untuk membangun kepercayaan.
Saran saya: tunjuk auditor eksternal untuk teratur memeriksa keuangan gereja. Tugas auditor ini harus dipisahkan dari tugas komisi yang mengawasi perbendaharaan gereja. Kedua, bentuk suatu komite yang dipilih secara demokratis untuk menerima laporan pengelolaan asset, guna memberi saran pada PHMA dalam pengelolaan kekayaan gereja. Selain itu, perlu juga dibentuk sistem prosedur untuk menjamin pengendalian fraud.
Hal-hal ini menurut saya, dapat membangun kepercayaan, lebih baik dari saat ini.
Ketiga, responsible. Ini artinya perlu ada upaya bertanggung jawab secara berjenjang dalam mengelola keuangan. Keuangan gereja bukan rahasia iman. Oleh karena prinsip pengelolaan kekayaan duniawi jelas memerlukan sifat tanggap terhadap kesalahan dan upaya perbaikannya. Kita masih hidup di dunia, dan kita memerlukan pengelolaan aset/kekayaan gereja yang bertanggungjawab: ini kemestian untuk tetap bertahan.
Ada pendapat: niat semua orang di dalam wadah gereja adalah melayani, sehingga seharus organisasi gereja berjalan baik bila orang takut akan Tuhan. Faktanya tidak demikian. Sengkarut berbagai gereja di dunia sebenarnya petunjuk governance itu penting. Pemisahan antara fungsi pastoral/teologis dengan peran manajerial harus ada. Tidak bisa orang yang tak punya kompetensi manajerial disuruh memimpin administrasi. Begitu bahasa sederhananya.
Ini membawa kita kepada prinsip keempat, independen. Sewajarnya dilakukan pemisahan peran dalam proses pengelolaan aset. Organisasi gereja, walau merupakan suatu kesatuan rohani, tetap harus dikelola secara independen antar fungsi, sehingga masing-masing unsur tidak saling mendominasi dan tiada proses yang berjalan tanpa check and balance oleh pihak lain.
Persoalan independensi ini sebenarnya tampak dalam pengelolaan dana abadi: kelemahan literasi diperburuk oleh tiadanya kontrol dalam penempatan dana. Kewenangan pengelolaan dana jumbuh dengan sistem administrasi umum gerejawi. Semestinya ada mekanisme dalam berbagai proses yang menyangkut keuangan.
Akhirnya, hal kelima adalah: fairness. Gereja harus senantiasa memperhatikan kepentingan umat dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Tidak bisa mengandalkan hanya pendeta sebagai penanggungjawab seluruh proses administrasi. Jika diamati, perubahan susunan kepengurusan PHMA dari periode pertama (1937) hingga kini, menunjukkan peran pendeta yang semakin sentral dalam pengurusan gereja.
Umat sebenarnya juga memiliki potensi dan dedikasi. Jadi, suara jemaat melalui PHMD beserta segenap kekuatan umat yang ada, juga merupakan kekayaan dari GKJW secara organisatoris.
Perlu dipertimbangkan ke depan untuk tidak saja membangun teologi, namun cara berorganisasi, agar gereja benar-benar mampu menjadi contoh dalam tata laksananya. Saya bisa memahami, dengan adanya defisit anggaran pada PHMA akan berdampak makin gencarnya upaya membangun sumber dana lain. Ini sebenarnya konsekuensi dari perluasan dan penambahan jemaat. Namun tentu saja, dalam urusan pendanaan harus ada strategi lain yang dibangun.
Bersusah-susah sedikit juga penting, cost cutting dan mengurangi program-program yang bersifat entertainment secara organisasi, barangkali akan lebih membantu.
Sejarah GKJW adalah gereja penyintas. Melampaui masa penjajahan Jepang, masa revolusi kemerdekaan, periode demokrasi terpimpin, hingga pertengkaran ideologi pada masa klimaterik berdirinya Orde Baru. Tidak sedikit korban jiwa dan harta dari umat Kristen Jawa. Selain persekusi dan keterpencilan. Sepanjang Masa Reformasi hingga kini, gereja ini berjuang untuk bertahan, menghadapi intoleransi yang masih berkeliaran. Oleh karena itu, setidaknya demi sejarah, jangan sampai dia retak karena persoalan kepemimpinan dan tata kelola.
Tidak ada yang mau menumbalkan pamong semacam Gareng, atau menjadi Sri Kresna yang memilih siasat “pukul sembunyi tangan” dengan menyuruh Baladewa menghadapi Kurawa. Asset gereja bukan serupa Drupadi istri Yudistira, atau putri dari Duryudana yang disayembarakan. Bagi saya: umat ibarat Gatotkaca, memikul Pergiwa di bahunya. Pergiwa adalah organisasi gereja. Adapun kecantikan dan perhiasan yang dikenakan adalah kekayaan lembaganya. Jangan Pergiwa dibebaskan memilih partner bisnis sendiri.
Malang 07/05/2021
#katresnangkjw