gkjw.org -Salah satu puncak perkembangan pendidikan di antara umat Kristen di Jawa Timur, adalah pendidikan teologi untuk menghasilkan rohaniawan. Perkembangan jemaat Kristen yang pesat menyebabkan sekitar tahun 1920 muncul kebutuhan menghasilkan tenaga pastoral Jawa. Inilah latar belakang pendirian sebuah lembaga pendidikan teologi yang dikenal sebagai Balewiyata.
2 – Siwering Kawilujengan - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 4 2 – Siwering Kawilujengan - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 4
3 – Rapal Pengandelan - C.L. Coolen nan Unik - Bagian 2 3 – Rapal Pengandelan - C.L. Coolen nan Unik - Bagian 2
Pada tahun 1922, Nederlands Zending Genootschap (NZG) mengutus Barend Martinus Schuurman menjadi guru bagi jemaat Kristen Jawa di wilayah Kediri, Jawa Timur. Namun, akibat kebutuhan mendidik rohaniawan di antara orang Jawa maka pada tahun 1925 NZG menugaskan Schuurman membuka pendidikan teologi 2 tahun di Kediri. Setelah melihat potensi di antara orang Jawa yang mampu menjadi guru agama dan membimbing jemaat sebagaimana layaknya pendeta, pendidikan teologi di Kediri pun ditingkatkan dan pada 6 Januari 1927 dipindahkan seluruhnya ke Malang dengan nama “Balewiyata” (arti: tempat belajar).
Balewiyata dilahirkan dari suatu kebutuhan, yang mula-mula menyangkut penyiapan pendeta untuk melayani umat Kristen Jawa. Namun urusan ini berkembang, sebab ada perbedaan budaya antara umat Kristen Jawa dan kaum kristiani di Gereja Hindia. Balewiyata sebenarnya hadir sebagai jawaban atas persoalan mendasar suatu gereja berbasis etnis: membangun dengan pemahaman teologis secara kontekstual yang sekaligus merupakan sebuah tindakan strategis bagi umat Kristen Jawa.
Sekolah ini disponsori persekutuan penginjilan Gereja Belanda (Zending de Nederlandsche Hervormde Kerk), praktis bertujuan mendidik calon pendeta dari suku Jawa untuk mengisi kekurangan gembala di jemaat-jemaat. Kurikulum dari pendidikan teologi di Balewiyata cukup lengkap, tersusun dalam empat tingkat perkuliahan. Tahun pertama: sejarah dunia, sejarah Indonesia, sastra Jawa dan Belanda, sejarah Alkitab dan pengantar ilmu Alkitab, filsafat umum dan ilmu retorika. Tahun kedua dan ketiga: kanonik gerejawi, dogmatika kekristenan, sejarah gereja, sejarah Alkitab (lanjutan), tafsir Alkitab, Islamologi, sejarah Jawa, pengetahuan umum, ilmu pastoral, ilmu pengajaran agama dan Bahasa Belanda. Tahun ke empat: administrasi gereja, ilmu pendidikan (pedagogi) dan praktek pastoral.
Pada tahun 1930, Schuurman mengambil cuti dari Balewiyata dan berangkat Zürich, Swis untuk menempuh pendidikan tingkat doktoral di bidang teologi serta filsafat. Ia menyelesaikan pendidikan pada tahun 1933 dengan disertasi mengenai mistisme. Ia kembali ke Balewiyata sebagai salah seorang pengajar.
Dalam perjalanannya, Balewiyata tak sekadar menjadi sekolah pendeta Jawa. Malah pada zaman pra hingga kemerdekaan, lembaga ini bertindak sebagai semacam tempat asah para pemikir Kristen lintas suku. Walau pada awal berdiri hanya memiliki dua orang tenaga pengajar tetap yakni Nortier dan Schuurman, alumni yang dihasilkan adalah “pemikir-pejuang.” Salah satunya adalah peran alumni Balewiyata di balik penyatuan jemaat-jemaat Kristen Jawa menjadi GKJW. Lulusan Balewiyata dikenang sebagai bapak GKJW seperti Pdt. Driyo Mestoko, Pdt. Wiryotanoyo, Pdt. Mardjo Sir dan Pdt. Noersaid Setjo.
Apalagi sejak dipayungi suatu kuratorium yang bertindak sebagai “yayasan penyantun”, sekolah ini malah menjangkau pendidikan pendeta bagi gereja-gereja lain. Angkatan ketiga Sekolah Teologi Balewiyata misalnya, 1937, mencatat 5 siswa Kristen Bali, yang merupakan hasil pekabaran Injil Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Bali. Mereka menjadi pendeta putra daerah di Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB).
Nasib suram justru diderita ketika bala tentara Dai Nippon mendongkel Belanda dari Indonesia tahun 1942. Sekolah ditutup. Para pengasuh ditawan, bahkan Schuurman ditahan sampai wafat pada 6 Juli 1945 di Penjara Lowokwaru, Malang. Sementara Mardjo Sir, anggota kuratorium dari GKJW, ikut ditawan sampai 1945. Inventaris Balewiyata mulai meja kursi, buku-buku dan gamelan, ludes dijarah sehingga tertinggal hanya dua buah lemari besar dan sebuah meja. Bahkan pintu dan jendela pun diambil kayunya.
Nasib Balewiyata membaik setelah kemerdekaan Indonesia. Berdirinya negeri ini berdampak pada kebutuhan pengajaran teologis yang mandiri. Sidang MA GKJW ke 20 di Mojowarno, Agustus 1946, memutuskan untuk membuka kembali Sekolah Teologi Balewiyata. Semula sekolah ini hendak dipindah ke Mojowarno, namun karena kekurangan fasilitas terpaksa niat tadi diurungkan. Ditunjuklah Pdt. Saptojo Joedokoesomo, Pdt. Driyo Mestoko dan Pdt. Tasdik sebagai dosen. Baru pada Maret 1948, Sekolah ini buka kembali di tempat asalnya, Jalan Sukun Nomor 18 (kini Jalan Shudanco Supriadi Nomor 18) di Malang.
Jumlah angkatan pertama zaman Republik Indonesia ini ada 17 orang. Lama bersekolah pun dibagi dua: mereka yang mampu menjadi pendeta disediakan program komplit selama 4 tahun; dan buat mereka yang tidak mampu, disediakan kursus 2 tahun untuk mencetak tenaga Guru Injil. Guna menambah tenaga pengajar, GKJW bekerja sama dengan Gredja Tionghwa Kie Tok Kauw Hwe (kini GKI Jatim) yang mengirim Pdt. Hwan Ting Kiong sebagai dosen.
Perjalanan selanjutnya bisa disebut masa keemasan Balewiyata. Sejak tahun 1950, Balewiyata dikenal sebagai Sekolah Teologia dan jangkauannya pun semakin luas. Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) mengirim siswa, kemudian menyusul Gereja Kristen Sekitar Muria (GKSM), Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jabar, Jateng dan Jatim. Tak pelak, Balewiyata segera menjadi rujukan karena mampu memberi pendidikan teologia berbobot. Tenaga pengajar yang terkenal adalah Dr. Phillip van Akkeren, Pdt. Soesilo Djojosoedarmo, Dr. Arie de Kuijper dan Pdt. Ardi Soejatno.
Pada tahun 1955, dua sekolah teologi, milik GKSM (Pati) dan GKI Jabar (Bandung), menggabungkan diri ke Balewiyata. Pengelolaan Balewiyata lantas diserahkan pada suatu kuratorium beranggotakan 5 gereja pendukung yakni: GKSM, GKI Jabar, GKI Jatim, GKP dan GKJW. Dari kerja keras konsorsium ini Balewiyata semakin berkembang. Walaupun demikian, di dalam tubuh konsorsium juga dirasakan berbagai kesulitan untuk terus menghidupi pendidikan tinggi tersebut. Salah satu alasan pokok adalah pendidikan di Balewiyata tidak bersifat komersial, sehingga sangat bergantung pada dana yang disediakan masing-masing gereja anggota konsorsium tersebut.
Sidang MA GKJW di Malang tahun 1964 kemudian memutuskan untuk menghentikan kuratorium pengelola Balewiyata. Mulai tahun 1965, Balewiyata dikembalikan ke fungsi pada awal berdirinya: mendidik pendeta untuk keperluan internal GKJW. Semula sekolah teologia, Balewiyata kini direformasi jadi Institut Pembinaan Theologia (IPTh). Pdt. Tasdik lalu diangkat jadi Direktur.
Sayang sekali hanya 3 angkatan saja yang merasakan sekolah Balewiyata, karena pada tahun 1967, diputuskan mereformasi sekali lagi mereformasi IPTh. Pada sidang MA GKJW di Madiun, 16 November 1972, dikeluarkan keputusan yang meneguhkan hasil sidang tahun sebelumnya di Malang yang menetapkan IPTh Balewiyata tidak dilanjutkan sebagai lembaga pendidikan teologi melainkan menjadi pusat pembinaan warga gereja. Pendidikan teologi untuk pendeta GKJW selanjutnya diserahkan ke Akademi Teologi Yogyakarta (kini Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogya). Sampai di sini, berakhirlah suatu episode selama 48 tahun dari pendidikan tinggi teologi di lingkup GKJW.
Tahun ini kita merayakan ulang tahun Balewiyata ke 95. Ada beberapa agenda, mulai webinar yang mengulas pemikiran beberapa tokoh yang pernah berperan dalam sejarah GKJW sampai agenda membuat beberapa buku “teologi.” Namun tampaknya, ada godaan yang besar juga untuk membuat narasi berbau fiksi di seputar ketokohan dan “teologi” gereja kita. Seakan-akan membangun semacam “alternative-earth” terhadap eksistensi para tokoh historis dan wacana teologis GKJW. Ini barangkali persoalan di tengah menguapnya pemikiran kritis atas kelembagaan GKJW –yang hari-hari didera berbagai persoalan manajerial. Jadi ketimbang capek memikirkan hari ini, kita memilih keluar dulu dari “real earth” kemudian beralih ke “alternative-earth.” Daripada pusing tentang salah kelola dana talenta abadi, buku “kidung kontroversial,” yayasan pendidikan yang merana, wacana bikin sekolah perawat, atau memberesi urusan “remeh” semacam indikasi mark up biaya pengurusan imigrasi di kantor gereja, para pengurus di MA perlu jeda. Sedikit mencari narasi alternatif: bikin webinar, menghadirkan para pejabat atau malah meresmikan monumen.
Saya pernah bilang kalau dalam cerita komik, seorang remaja yang digigit laba-laba bisa mendapat kekuatan laba-laba dan menjadi manusia super. Di dunia nyata, hal seperti itu tak mungkin terjadi. Jadi, dalam memperingati HUT Balewiyata kita perlu refleksi secara strategis: apa sebenarnya tugas besar dari lembaga ini? Jangan berharap bahwa kita akan digigit semacam laba-laba terus menjadi sakti.
Saya percaya Balewiyata adalah sumber pengetahuan teologis dan pastoral GKJW yang akan menentukan masa depan gereja ini dalam pertarungan di tingkat “earth-prime.” Sayang apabila dia disibukkan oleh narasi-narasi alternatif, atau repot dengan berbagai kisah-kisah “alternative-earth.” Sibuk bikin diskursus, tapi lupa pakem. Sibuk dikaryakan, lantas hilang pemikiran kritisnya. GKJW ini salah satu gereja besar di Jawa Timur. Kita harus siap menghadapi musim dingin yang di dalam film Games of the Throne, melambangkan kebekuan pemikiran yang mencekam dan menggigilkan tulang. Ada banyak kelemahan di PHMA, yayasan dan perseroan di GKJW, janganlah itu menular menjadi semacam kanker ke Balewiyata.
Selamat menikmati Bulan Penciptaan. Saya sruput dulu teh tawar ini.
Foto 1: kelas di Balewiyata yang diasuh Schuurman (1938).
Foto 2: para penginjil NZG dan JC di Jawa Timur depan pendapa Balewiyata (1935).