Membatasi



Membatasi GKJW

Membatasi

“ Apa Allah itu ada ?” tanya seorang Marxis
“Tentu tidak seperti yang dipikirkan oleh rakyat,” jawab Sang Guru.
“Siapa yang anda maksud, bila anda menyebut rakyat?”
“Siapa- siapa saja.”
(Dikutip dari buku “Sejenak bijak”, oleh Anthony de mello sj; KANISIUS, 1987, hal. 193).

Bacaan :
a. Kejadian 25: 19- 34
b. Roma 8: 1- 11
c. Matius 13: 1-9; 18- 23.

1. Dialog singkat dengan judul: ”Membatasi” di atas adalah karangan Romo (Pastor) Katholik yang cukup menggambarkan persoalan manusia terkait dengan Sang Hyang Widhi; Tuhan Allah penguasa kehidupan yang tak mungkin dibatasi PIKIRAN MANUSIA saja. Bahwa misteri ada atau tidaknya penguasa diluar diri manusia bahkan diluar “natur” (alam semesta) ini akan terus menjadi pergumulan sepanjang peradaban manusia di bumi. Marxis adalah seseorang yang mengikuti pendapat ahli sosiologi, filsuf , ahli ekonomi, ahli teori politik, jurnalis; bernama KARL MARX. Dia yang lahir Trier, di Jerman tanggal 05 Mei 1818 dan meninggal di Inggris tanggal 14 Maret 1883; sebagai keturunan Yahudi. Yang tidak percaya adanya Tuhan. Agama hanyalah “ilusi” dan candu bagi masyarakat, begitulah pendapat Marx. Ia menganalisa struktur masyarakat abad 18-19 yang menurutnya tercipta karena adanya pertentangan kelas Borjuis dengan kelas buruh akibat revolusi industri. Sehingga tujuan hidup adalah penghapusan kelas-kelas di masyarakat tersebut. Agama tidak diperlukan, karena TUHAN tidak ada. Begitulah pendapat Karl Marx. Ajaran yang demikian aliran maupun pahamnya disebut MARXISME. Marxis adalah pengikutnya. Secara lengkap pendapat Karl Marx bisa dibaca di dalam bukunya yang aslinya berbahasa Jerman dengan judul “DAS KAPITAL” (Modal).

2. Dialog di atas cukup melukiskan juga persoalan pendidikan spiritual di dalamnya agama yang memang berdasarkan keyakinan kepada Tuhan, yang di Indonesia, diwajibkan bagi seseorang memeluk salah satu agama yang diakui Pemerintah. Berbeda dengan di negeri berhaluan komunis seperti di Korea Utara, China, Rusia dll. Bahkan Amerika, suatu negeri yang liberal (bebas) yang memang membolehkan warga negaranya hidup beragama atau tidak. Di Amerika yang utama harus taat pada hukum (Konstitusi Amerika) serta membayar pajak. Dalam negeri yang berhaluan komunis, tidak berarti warganya semua tidak percaya Tuhan, bukan. Tentu banyak warga China, Rusia yang beragama seperti: Kristen, Islam, Budha, dll. Nah era kita sekarang ini, banyak orang mungkin ber-“KTP” bertuhan. Tapi dalam praktek hidupnya ternyata tidak mencerminkan “Tuhan” yang dimaksudkan dalam nama KTP-nya. Misal, perilaku koruptif sulit dihapus di negeri kita, jangan-jangan perbuatan “ngemplang” uang orang lain, itu dianggap “biasa” bagi koruptor, dan tidak merasa berdosa. Karena “yang lain” dianggap sama, asumsi mereka banyak yang juga melakukan demikian.

3. Persoalan, bagaimana kita “merasakan kehadiran Tuhan dengan berkat-berkat-Nya”… pastilah tidak mudah, sebagaimana dilukiskan dialog singkat karangan Bapak Anthony de mello SJ. di atas. Orang tidak bertuhan (Marxis; atheis) mengira Tuhan BISA DIBATASI bahkan mungkin bisa DIHAPUSKAN dari pikiran manusia (rakyat). Terlepas bahwa tentu tidak semua pendapatnya Karl Marx itu keliru. Ada sebagian yang mungkin saja benar. Semisal sistem ekonomi yang mestinya berfungsi menyejahterakan rakyat. Tapi yang terjadi kekayaan hanya “dikuasai” beberapa manusia.
Alhasil, di satu sisi beberapa gelintir orang bisa kaya-raya. Sebaliknya banyak orang hidup dalam sangat miskin, makan saja kadang-kadang. Jika itu terjadi, maka system itu memang perlu dikritisi: Benar atau tidak. Jika benar tentu perlu ada upaya nyata melalui cara (sistem) demokrasi bisa merubah bersama sebagaimana landasan prinsip “Keadilan Sosial bagi semua orang”.
Dalam berproses itulah, nilai keimanan warga masyarakat sangat menentukan konsep “bersama menuju kesejahteraan Bersama” dengan tanpa lepas dari keyakinan BAHWA SANG TUHAN itulah pemilik kehidupan. Bukan menggunakan sistem komunisme. Nah dalam kehidupan berbangsa konsensus Pancasila dan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan Idiil tentu menjadi bingkai utama membentuk masyarakat dan bangsa kita di Indonesia tercinta ini.

4. Era REVOLUSI INDUSTRI jilid 4.0 yang sekarang dibentuklah struktur kehidupan dengan majunya teknologi masa kini. Suatu hal yang tentu juga akan mempengaruhi pergumulan Pendidikan Rohani (spiritual) warga gereja termasuk dalam kehidupan keluarga kita.
Bacaan dalam bagian Kitab Roma Rasul Paulus mengungkapkan tentang bagaimana hidup kekristenan yang sudah di-”merdekakan” Tuhan Yesus sebagai Sang Imanuel (Roma 8 : 10) untuk Tuhan. Kita memang sudah dimerdekakan dari dosa, tapi kemerdekaan itu TIDAK DIMAKSUDKAN justru BEBAS BERBUAT DOSA, TIDAK (Galatia 5: 13). Melainkan sebagai kesempatan berbuat baik dan benar bersama Tuhan Yesus ikut menghadirkan pemerintahan Allah di bumi yang ditandai saling mengasihi diantara sesama ciptaan. Dalam era Revolusi Industri 4.0 ini, atmosfer kemerdekaan ada di seputar kehidupan kita juga. Semisal dengan “kecerdasan Internet”, kita cukup “klik” di situs internet apa saja informasi bisa kita dapatkan. Ada banyak hal yang baik kita dapatkan, tapi yang jahat juga juga banyak.
Demikian juga informasi hal ‘TUHAN’ penjelasan dari pelbagai sudut keilmuan semuanya ada. Sebagai manusia bebas, seseorang memang bisa mengakses pilihan-pilihannya sendiri. Dari segi knowledge (pengetahuan) ini meringankan tugas orang-tua dalam hal pendidikan agama anak-anaknya. Namun manusia itu bukanlah robot-robot “mati” yang bisa di “setel” otomatis sebagaimana “struktur-struktur” kehidupan yang dianalogikan Karl Marx.
Tuhan Sang Penguasa semesta alam. Bisa saja “memakai sarana Covid- 19” untuk “memurnikan” keimanan seseorang. Dalam hal kematian manusia yang terjadi sekarang seperti “deret ukur” matematika, menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya manusia bisa berdaya menghadapi situasi ini tanpa pertolongan Tuhan. Bahwa orang beriman tetap teguh percaya bahwa hidup dan mati kita adalah milik Tuhan. Demikian juga, Tuhan sanggup memberikan kemampuan kepada manusia untuk menemukan vaksin penangkal Covid- 19, ini pasti kita yakini. Ini hanya soal waktu. Yang bagi penganut atheism (Tak ber-Tuhan) tentu hal ini TIDAK MASUK AKAL. Karena itu Pendidikan spiritual di bulan Keluarga di gereja kita, kita semua diingatkan oleh Yoshua dalam Kitab Yoshua 24: 15, bahwa hendaklah keluarga kita hanya berfokus pada Sang Tuhan.

5. Teladan keluarga Ishak dan Ribka dalam Kitab Kejadian 25: 19 – 34 menceritakan, bagaimana pergumulan Ishak yang sudah 20 tahun menikah, belum juga dikaruniai putra. Padahal sama dengan bapaknya, si Abraham, Ishak juga dijanjikan memiliki keturunan juga. Sementara ia sudah berumur 60 tahun. Akhirnya melalui doa dan kesetiaan mereka, Tuhan pun berkenan mengaruniakan anak juga. Bahwa anaknya lahir kembar, dalam sikon yang sulit. Menunjukkan betapa persoalan keluarga “beriman” pun tak kan pernah lepas dari “masalah”.
Demikianlah juga persoalan keluarga-keluarga Kristiani masa kini, tak jauh beda. Satu persoalan baru selesai, soal yang lain sudah muncul pula yang baru. Hal pentingnya memelihara kesetiaan pada Allah sebagaimana diteladankan Yoshua, sekarang penting bagi kita. Tuhan Yesus melukiskan keluarga yang diberkati bahkan menjadi jalan berkat bagi orang lain dan sesama ciptaan lainnya adalah dengan cara memelihara Sabda Tuhan.
Dalam hal ini metafora (kiasan) dunia pertanian sehari-hari dipakai oleh Yesus. Bagaimana Firman Tuhan yang adalah pelita bagi kaki kita dan pengarah di jalan hidup kita (Mazmur 119: 105) akan selalu menyegarkan hidup kita sekalipun terkadang “lesu” di tengah pandemic Covid- 19. Sabda Tuhan yang dilukiskan Tuhan Yesus bagai benih yang ditaburkan oleh petani. Taburan benih, ada yang jauh di tanah tandus. Sebentar tumbuh, dilibas “gulma” sudah mati. Ada yang di tanah kering, belum sempat tumbuh sudah di “patuk”(makan) burung/ ayam. Tapi benih yang jatuh di tanah yang subur (Bhs. Jawa “gembur”), dijamin, benih itu tumbuh segar, normal, sehat dan saatnya pasti berbuah banyak.

6. Tugas kita para orang tua sekarang ini adalah menjadikan keluarganya menjadi tempat “persemaian” benih yang tumbuh subur, karena memang diciptakan ruang Pendidikan keluarganya sehat. Sikap ‘demokratis’ yang ditunjukkan Yoshua, tapi juga tegas “Teokratis” (Menyembah Tuhan saja; Ulangan 6: 4) ini menjadi pembelajaran buat kita para orang-tua. Sarana internet, komputer, gadget yang canggih bisa jadi sangat membantu kita dalam hal ini. Tapi sebaliknya, jika tanpa teladan Etis, malah berbalik menjadi “Laknat”.

Selamat mencangkul. Menggaru, menyiangi tanaman milik Tuhan agar tumbuh sehat, karena disiapi juga TANAH YANG GEMBUR !.

LAWANG, 09 JULI 2020. A.n. KPTJ GKJW LAWANG;
Pdt. Sistrianto STh.

Title: Membatasi
Permalink: https://gkjw.org/662-membatasi/
Category: Renungan