gkjw.org -Secara etimologis, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Jawa kuno, yang sebelumnya diserap dari bahasa Sansekerta dan Pali, yang artinya “sendi dasar yang lima” atau “lima dasar yang kokoh”. Mula-mula kata “sila” dipakai sebagai dasar kesusilaan atau landasan moral Buddhisme, yang memuat lima larangan. Sebagaimana disebutkan dalam Tripitaka, kelima sila itu dalam bahasa Pali adalah sebagai berikut:
1. Pānātipātā veramani sikkhapadamsamādiyāmi (Aku melatih diri untuk menghindari pembunuhan);
2. Adinnādānā veramani sikhapadam samādiyāmi (Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan);
3. Kāmesu micchācāra veramani sikkhapadam samādiyāmi (Aku bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila);
4. Musāvāda veramani sikhapadam samādiyāmi (Aku bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar, berdusta, atau memfitnah);
5. Surāmeraya majjapamādatthān veramani sikkhapadam samādiyāmi (Aku bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan).
2 – Koperasi - Catatan Ekonomi Gerakan Warga (Bagian 1) 2 – Koperasi - Catatan Ekonomi Gerakan Warga (Bagian 1)
3 – Rival Baru: Shincheonji di Indonesia 3 – Rival Baru: Shincheonji di Indonesia
Dalam makna “lima dasar moral” yang harus dipatuhi tersebut, maka istilah Pancasila di negara kita sudah kita kenal sejak zaman Majapahit. Istilah ini dijumpai baik dalam karya Mpu Tantular dalam bukunya “Kekawin Sutasoma” (ditulis tahun 1380 M), maupun karya Mpu Prapanca yang ditulis sebelumnya dalam sastra pujanya yang berjudul “Kekawin Negara Krtagama” (ditulis tahun 1367 M).
Jadi, kedua pujangga itu hidup pada masa puncak kejayaan Majapahit, yang dikenal sebagai negara nasional (Nasionale Staat) yang kedua, yaitu setelah kejatuhan Sriwijaya dan sebelum Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam Kekawin Sutasoma, istilah Pancasila disebutkan 2 kali, yaitu dalam seloka-seloka suci yang dalam bahasa Jawa kuno bunyinya: Bwat Bajrayana Pancasila ya gegen den teki hawya lupa! Artinya: “Bagi yang mengikuti vajrayana, Pancasila harus dipegang teguh, jangan sampai dilupakan” (Sutasoma 145:2).
Dalam pupuh lain dari Kakawin yang sama, Mpu Tantular mencatat pula: Astam sang catursrameka tarinen ring Pancasila Krama! Artinya: “Wajibkanlah kepada semua anggota catur asrama supaya Pancasila dijalankan secara teratur” (Sutasoma 4:4).
Selanjutnya, dalam Kekawin Negara Krtagama, kata Pancasila dijumpai dalam seloka yang berbunyi: “Yatnagegwani Pancasila krtasangskara bhisekakrama”. Artinya: “Sang Raja selalu waspada dan teguh memegang Pancasila, berlaku mulia, dan menjalankan upacara agama” (Negara Krtagama 43:2).
Pancasila Digaungkan Kembali Dalam Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945
Dalam pidatonya tanpa teks di depan sidang Dokuritsu Zunbi Tyusakai (Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan), Bung Karno menggaungkan kembali Pancasila sebagai nama dasar negara kita, untuk memenuhi pertanyaan Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat, yaitu apa dasarnya Indonesia merdeka yang akan didirikan.
Menurut Bung Karno, yang diminta dr. Radjiman tidak lain adalah Weltanschauung atau Philosophische Grondslag (Dasar Filsafat) yang di atasnya Negara Indonesia merdeka akan didirikan. Dalam pidato yang akhirnya dikenal sebagai “Lahirnya Pantja-Sila” itu, Bung Karno mengusulkan dasar-dasar sebagai berikut:
1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan;
3. Mufakat atau Demokrasi, Dasar Perwakilan, Dasar Permusyawaratan;
4. Kesejahteraan Sosial;
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Istilah Pancasila diusulkan oleh Bung Karno dalam pidatonya yang bersejarah itu, pada tanggal 1 Juni 1945.
“Sekarang”, kata Bung Karno, “banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi”, yang disambut dengan tepuk tangan riuh.
Setelah melalui proses perumusan ulang, pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 tersebut, kemudian dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, Alinea 4, yang lengkapnya berbunyi:
1. Ketuhanan yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa Majapahit Menjadi Sumber Inspirasi, Bukan Bugis, Banten, atau Mataram ?
Dalam pidato “Lahirnja Pantja-Sila”, Bung Karno menekankan bahwa kita adanya dua kali mengalami Nationale Staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Selain kedua negara itu, kita tidak mengalami negara nasional. Bung Karno memberi contoh, Mataram, Pajajaran, Banten, dan Bugis adalah negara-negara berdaulat, negara-negara merdeka, tetapi bukan negara nasional.
Itulah sebabnya para pendiri bangsa, banyak terinspirasi oleh Majapahit. Dari Majapahit kita mengambil alih istilah “Pancasila” sebagai nama Dasar Negara, salam nasional kita “Merdeka”, dan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai “sesanti” dalam lambang negara kita.
Demak, Mataram, Bugis, Banten tidak pernah berhasil mempersatukan Nusantara, karena landasan dalam bina negara bukan sebuah “welthansauung” dari semua, oleh semua dan buat semua, melainkan berasas primordialitas agama tertentu. Terbukti bahwa sistem teokrasi atau negara agama, tidak pernah bisa mempersatukan Nusantara yang sangat majemuk.
Selanjutnya, sama-sama negara nasional yang wilayahnya bahkan lebih besar dari NKRI sekarang, mengapa para pendiri bangsa lebih terinspirasi oleh Majapahit, bukan Sriwijaya? Dasar negara kita, misalnya, namanya tidak diambil dari Sriwijaya? Saya pernah menyampaikan hal ini kepada Pak Taufiek Kiemas (almarhum), ketika empat pilar MPR pertama digagas, dan pada waktu itu saya sebagai salah satu narasumber. Faktanya, 5 dokumentasi tertulis Sriwijaya tidak selengkap Majapahit, yang telah mengabadikan prinsip-prinsip kehidupan bina negara dalam sejumlah prasasti, lontar-lontar perundang-undangan, dan sejumlah besar karya sastra yang sampai sekarang masih dibaca dan terus dilestarikan di pulau Bali.
“Mungkin karena itu Ibu Mega sangat mencintai Bali, Pak”, kata saya dalam obrolan singkat, sebelum saya mempresentasikan makalah “Bhinneka Tunggal Ika: Sejarah, Filosofi, dan Relevansinya”. Semua peninggalan sejarah itu tidak ada lagi di Jawa, tetapi justru diwariskan utuh-utuh kepada kita dari Pulau Dewata. Orang Jawa tidak lagi berbicara dalam bahasa Jawa kuno, tetapi di Bali bahasanya Mpu Tantular dan Mpu Prapanca ini masih dilestarikan dalam bentuk sastra kakawin.
Ada yang mengatakan bahwa “teman ahli bahasa” yang dimaksud Bung Karno dalam pidatonya itu Pak Yamin. Tetapi yang lain bilang Ida Bagus Sugriwa, salah seorang putra Bali yang turut dalam sidang-sidang menjelang kemerdekaan RI. Baik Profesor Yamin maupun Ida Bagus Sugriwa adalah dua orang yang agaknya berdiskusi dengan Bung Karno, yang disebutnya “seorang teman ahli bahasa”.
Meskipun Yamin adalah seorang putra Minang, namun sebagai ahli kebudayaan dan bahasa, dikenal sudah lama bersentuhan dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit. Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Yamin yang mula-mula menyebut ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika”, I Gusti Bagus Sugriwa yang duduk di sampingnya spontan melengkapi sambungan ungkapan itu “Tan hana dharma mangrwa” (Tidak ada kebenaran yang mendua).
Keakraban keduanya seperti tampak dalam penggalan catatan sejarah di atas, membuktikan bahwa kedua sahabat Bung Karno ini memang sangat mendalami karya-karya Jawa kuno. Lebih-lebih Ida Bagus Sugriwa, sebagai putra Bali dari Buleleng, menjadi saksi hidup bahwa di Bali istilah-istilah seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Mahardhika, dan sebagainya, adalah ungkapan-ungkapan yang masih hidup, dihayati, dan 6 dilestarikan selama berabad-abad melalui sastra Kakawin. Bali adalah museum hidup Majapahit yang masih tegak berdiri sampai hari ini.
Selain naskah Leiden, sumber rujukan lontar Sutasoma yang banyak menginspirasi para bapa bangsa di awal kemerdekaan, yang mungkin dibaca saat itu. Jadi, sangat mungkin sebelum mengucapkan pidatonya, Bung Karno mendiskusikannya dengan Yasin dan Ida Bagus Sugriwa.
Majapahit menjadi inspirasi para bapa bangsa, bukan hal yang kebetulan. Negara nasional Kedua ini tidak hanya memberikan kebanggaan sebagai inspirasi untuk menghadirkan keagungan sejarah yang pernah ada, tetapi juga telah memberikan model dalam mengelola warisan pluralisme bangsa. Jadi, bukan hanya istilahnya yang kita warisi, tetapi pemikiran filsafat kenegaraan yang dibangun di atas jiwa merdeka yang terbuka, toleran, bahkan secara aktif berbagi dalam kebersamaan untuk merenda masa depan bangsa dan umat manusia.
Oleh : DR. Bambang Noorsena