gkjw.org -Hari minggu pertama di bulan Mei saban tahun dirayakan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dengan ibadah syukur bagi Yayasan Bakti Pendidikan Kristen (YBPK). Asal tradisi ini tak diketahui, namun umum dilakukan setidaknya sejak awal tahun 2000-an. Perayaan ini dikaitkan dengan Mei sebagai “bulan pendidikan” dalam kalender besar keindonesiaan.
2 – Masalah Penyimpangan Orientasi Seksual 2 – Masalah Penyimpangan Orientasi Seksual
3 – Propaganda Sehat 3 – Propaganda Sehat
Sulit untuk memberi rumusan tepat mengenai apa yang dimaksud dengan pendidikan kristiani. Jadi, anggap saja pendidikan ini adalah pengajaran yang diselenggarakan oleh kelompok keagamaan Kristen untuk menanamkan –atau setidaknya memperkenalkan– etika kristiani.
Bila pengertian ini diterapkan dalam sejarah kekristenan di Jawa Timur maka sekolah kristiani sudah dibuka Jellesma di Mojowarno pada tahun 1851. Alasan penginjil ini mendirikan sekolah dilandasi kenyataan literasi aksara latin dari orang Kristen Jawa sangat minim. Tanpa pendidikan sulit menciptakan pelopor Injil, guru agama atau tokoh jemaat. Oleh karena itu, didirikan sebuah sekolah di rumahnya, yang menampung kurang lebih 20 pemuda berusia antara 15 hingga 30 tahun.
Sekolah darurat Jellesma ini merupakan contoh “pendidikan Kristen” yang pertama-tama dirintis NZG untuk masyarakat di Jawa Timur. Walaupun sederhana, terbukti pengembangan pendidikan memainkan peran penting membentuk sumber daya manusia Kristen di Jawa Timur. Lewat sekolah, orang Kristen Jawa mempercepat dirinya dalam perjalanan sejarah. Pemandirian GKJW di kemudian hari, beserta segenap pergumulannya, berlangsung karena peran Kristen Jawa yang terdidik.
Ketika berkunjung ke Mojowarno tahun 1854, pendeta Gereja Hindia dari Surabaya, Ds. Brummund sempat melongok “kelas” di rumah Jellesma. Saat itu terdapat 17 orang siswa dan 6 calon siswa yang tengah belajar dibawah bimbingan Jellesma dan guru Albertus Kunto. Brummund mencatat:
“Mereka menerima biaya hidup, pakaian dan pondokan, juga sedikit uang saku. Pada waktu senggang mereka melaksanakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Bagi yang telah berkeluarga disediakan sebuah pondok; bagi yang masih bujang tidur bersama di atas balai-balai.”
Meskipun serba sederhana toh beberapa guru terbaik dihasilkan sekolah ini. Selain Bernardus Ngadimin (Ngamidien) yang sejak 1855 menjadi rekan dari Paulus Tosari di Mojowarno, juga terdapat sejumlah guru agama seperti: Asiel Ider (bertugas di Mojowarno), Kiai Amon dan Kiai Asariyo (Suwaru), Nikodemus dan Soleman (Wiyung) dan Matheus Matdakim (Pesapen, Surabaya). Bahkan, ada yang merambah sampai luar Jawa Timur, seperti Markus Baris dan Semion Sampir yang pergi mengajar ke Kayuapu (Kudus); Nekodimus Wakiman (Pati); Petrus Sandoyo (Salatiga) serta Yahuda Limbun di Kedungpenjalin (Kudus).
Memang, pada mulanya pendidikan yang dikelola NZG praktis bertujuan memberi bekal agama, dan sedapat mungkin mencetak tenaga gereja. Tetapi dalam perjalanannya, pendidikan Kristiani kemudian dituntut untuk semakin berperan sebagai alat mencerdaskan umat. Bahkan, dalam batas tertentu, pendidikan menjadi komponen penting dalam membentuk identitas Kristen Jawa. Pendidikan dianggap sebagai salah satu instrumen emansipasi, setelah baptisan, yang menjadikan umat Kristen lebih berkapasitas dalam menjalankan kekaryaannya di tengah masyarakat.
Pentingnya pendidikan bagi kaum muda disadari anggota jemaat; pendidikan bahkan menjadi salah satu nilai di mana etika Protestan menempatkan dirinya secara mantap di hati masyarakat Jawa. Menjadi tradisi pemuda Kristen Jawa untuk meneruskan sekolahnya, agar tak sekadar putus pada tingkat dasar. Praktis sekolah à la Jellesma ini mulai tidak memenuhi kebutuhan.
Namun pengembangan pendidikan oleh NZG berjalan dengan perdebatan. Ada dua kutub dalam organisasi ini.
Kutub pertama dipengaruhi etika Protestanisme Liberal di mana orang Jawa diyakini harus diberi pendidikan lebih dahulu sebelum diajak memahami Injil. Daya pikir mereka harus mengalami perkembangan dan kepribadian mereka harus terlatih sedemikian rupa, sehingga sanggup menangkap arti Injil secara intelektuil dan mengamalkannya. Sudut pandang ini diwakili antara lain oleh Harthoorn, pengganti Jellesma di Jawa Timur, 1858.
Harthoorn menganggap pentingnya pendidikan dapat dilihat pada orang-orang Jawa yang masuk Kristen berkat usaha Coolen (Ngoro) dan Emde (Surabaya) namun menanggapi iman Kristen sedemikian rupa sehingga Injil menjadi suatu ngélmu baru. Artinya, dalih Harthoorn, pekabaran Injil mesti didahului proses pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat setempat.
Kutub yang berseberangan datang dari Poensen, penginjil berbakat yang ditempatkan di Kediri, 1860. Pendidikan, kata Poensen, adalah cabang kedua pekabaran Injil setelah Injil itu sendiri. Keduanya berjalan seiring, karena: “Pendidikan itu berguna untuk mengukuhkan iman Kristen pada orang-orang yang telah dijamah Kristus, dan sebaliknya pendidikan bukan alat untuk merintis jemaat-jemaat baru …” tulisnya dalam sebuah traktat pada tahun 1865.
Untunglah perdebatan mana yang harus ada lebih dahulu, pendidikan ataukah penginjilan, tidak menimbulkan gejolak di lapisan umat – pada umumnya. Sejak 1854, sekolah à la Jellesma mulai dirintis untuk tumbuh di beberapa jemaat Kristen Jawa saat itu. Kurikulum sekolah perintis ini sederhana sekali, Alkitab tetap berfungsi sebagai bacaan wajib yang serentak bertindak sebagai sarana dan tujuan pendidikan. Selain itu menulis, berhitung, juga diajarkan ilmu bumi dan sejarah. Lama bersekolah 2 sampai 3 tahun.
Para lulusan “sekolah” Jellesma biasanya terlibat penuh dalam mengelola sekolah-sekolah perintis tersebut. Mereka disebut pamulang dalam Bahasa Jawa, voorganger dalam Bahasa Belanda, atau jika mereka mendalami Injil disebut Guru Injil. Tugasnya mengajar sekaligus kegiatan pastoral. Sejak 1855, sejumlah sekolah perintis didirikan di Japanan (Porong), Tarukan (Mojokerto), Mojowarno (Jombang), Mundusewu (Ngoro), Belon (Kertosono), Sumbergayam (Berbek) dan Maron (Srengat). Sehingga, apa yang dicita-citakan Poensen menjadi kenyataan. Pada jemaat-jemaat induk saat itu, NZG mudah membuka sekolah yang lebih formal. Baik di desa-desa yang lama dihuni orang Kristen –seperti Wonoasri, Aditoyo, Suwaru, Peniwen, Wonorejo dan Sitiarjo– maupun di daerah-daerah baru seperti Tunjungrejo, Sumberpakem dan lain sebagainya.
Pendidikan yang dibuka tentu saja harus menyesuaikan diri dengan perkembangan edukasi dasar dan menengah pada zamannya. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Jawa, sistem pendidikan disusun secara berjenjang dan sangat ketat. Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda untuk mengendalikan persekolahan, serta terbatasnya dana yang dicurahkan saat itu untuk kemajuan masyarakat bumi putra menyebabkan pendidikan dasar dan menengah amat tersegmentasi.
Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Kerajaan Belanda dan Kekaisaran Jepang, pendidikan dasar dan menengah mengalami berbagai perubahan. Pergeseran kepentingan dalam pendidikan dipengaruhi dinamika politik negara ini. Pendidikan dipandang sebagai bagian yang penting dalam penciptaan masyarakat yang adil dan makmur; tentunya ini dinyatakan dalam perubahan undang-undang dan berbagai peraturan pemerintahan yang menjadi tuntunan pelaksanaan pendidikan.
Hari ini, jika kita cepatkan jarum jam berputar, YBPK adalah salah satu obyek dari proses pendidikan di Indonesia dengan segala dinamikanya. Yayasan di bawah GKJW ini memiliki 41 pengurus cabang dan 86 satuan penyelenggaraan pendidikan. Tampaknya cukup besar, namun dalam skala penyelenggaraan pendidikan oleh gereja lain (dalam cakupan kekristenan), apalagi lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam atau Al-Irsyad Al-Islamiyyah (dalam cakupan keislaman), maka YBPK ini relatif “mungil.”
Walau dikatakan mungil, penyelenggaran pendidikan kristiani di bawah GKJW ini bisa bikin pusing. Kondisi sekolah yang beragam, kualitas tenaga pengajar, kepala sekolah dan manajemen sekolah telah menjadi pergumulan lama. YBPK menjadi obyek dari dinamika penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan sekaligus dilematis bila dilihat sisi operasional. Ada banyak pengurus cabang yang maju, namun tak terelakkan –kita semua tahu– ada banyak lagi sekolah yang “merana” bahkan nyaris hidup dalam suri.
Sudahlah, kita sruput dulu teh pahit ini.
Malang 1 Mei 2022