gkjw.org -(Bagian Ketiga)
2 – Siwering Kawilujengan - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 4 2 – Siwering Kawilujengan - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 4
3 – Taubat dan Muallaf dalam Timbangan Kenusantaraan Kita : In Memoriam Mas Didi "Dionisius" Kempot 3 – Taubat dan Muallaf dalam Timbangan Kenusantaraan Kita : In Memoriam Mas Didi "Dionisius" Kempot
( Sambungan dari gkjw.org )
Teologi Queer, sebuah pandangan orang-orang yang concern terhadap keberadaan orang-orang yang diwakili dengan emoji pelangi dalam gawai kita muncul setelah beberapa fokus teologi lain ‘merauo kesuksesan’, seperti Teologi Pembebasan (memberontak terhadap penindasan orang miskin) dan Teologi Hitam (melawan rasisme)[2]. Queer (kata sifat), secara harfiah berarti ganjil, aneh, asing, tidak biasa[3]. Namun, seiring berkembangnya waktu dan munculnya LGBT, queer juga merujuk pada sebuah cara untuk mendeskripsikan namun lebih merujuk pada penyebutan untuk menghina seseorang, khususnya laki-laki yang gay[4]. Yesus, dalam hal pandangan teologi Queer, adalah sosok yang juga masuk kategori orang yang queer, bukan berarti Yesus adalah gay atau lesbi, namun lebih merujuk pada tindak-tanduk Yesus yang tidak sama dengan kebanyakan orang pada zaman itu, Ia berani menjadi berbeda dengan pandangan mayoritas dan budaya yang mendominasi di lingkungan hidupNya saat itu, kelahiranNya, peristiwa-peristiwa dalam hidupNya, rangkaian peristiwa ajaib pasca kematian-Nya apa yang Ia lakukan untuk menunjukkan kasihNya pada manusia jelas berbeda dengan konsep-konsep pemikiran saat itu[5] sehingga dipandang ‘aneh’ oleh manusia di sekitarNya kala itu.
Dengan beberapa hal diatas, lantas bisakah dengan cepat kita bisa menyimpulkan bahwa kita harus seperti GKA? Seperti Unilever? Entahlah, yang pasti tidak semudah itu, karena memutuskan hal ini bukan sekedar hitam diatas putih, PGI sendiri menyatakan bahwa mereka memerlukan waktu yang tidak sedikit, harus banyak pertimbangan sebelum memutuskan ya atau tidak. Sampai di titik ini, mengacu pada temuan-temuan yang menyatakan bahwa LGBT bukan penyakit mental (mental disorder) namun juga beberapa karena pengaruh sosial, pun bukan penyakit spiritual, namun juga termasuk bukan sebuah dosa, maka gereja disarankan untuk belajar menerima keberadaan kaum LGBT sebagai anggota persekutuan kita, kita sebagai “Tubuh Kristus”. Kita harus memberikan kesempatan pada mereka untuk bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial, dan secara spiritual[6] bahkan kita direkomendasikan untuk turut serta memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia dan warga negara apabila mereka mendapatkan tindakan yang tidak adil dari masyarakat sekitar, pun dari negara. Melalui putusan PGI ini maka patutlah kemudian kita pikirkan dan rekonstruksikan ulang apa-apa yang bisa kita kerjakan untuk menjadikan Injil benar-benar menjadi kabar sukacita untuk semua yang ada di dunia, tanpa harus mencederai pihak manapun, memang sulit untuk dikerjakan namun itulah tugas dan panggilan kita.
Ketiga, tentang apa yang disinggung di atas tentang tagar #Boikot Unilever, mari kita tarik benang merah yang mungkin akan menggelikan bagi mereka yang sudah angkat suara. Sebagaimana kita ketahui, platform Instagram baru-baru memperbarui identitasnya dengan menambahkan “from Facebook” pada ‘pintu masuknya’, ini pula yang terjadi dalam Whatsapp. Mark Zuckerberg, pemilik Facebook adalah salah satu tokoh yang sejak lama telah terang-terangan menyatakan bahwa ia mendukung LGBT. Melalui emoji atau stiker pelangi dalam tiga aplikasi besar itu, itu adalah salah satu bentuk dukungan para raksasa dunia Internet ini terhadap LGBT. Seruan “boikot Unilever” ini kemudian menjadi hal yang ‘lucu dan tidak relevan, membuat saya pribadi tersenyum kecut dan hanya bisa menggelengkan kepala ketika melihatnya, terasa ‘lucu’ sekaligus menggelikan dan nir-faedah bagi banyak orang ketika itu dilontarkan di Instagram, Facebook, ataupun Whatsapp, yang jelas-jelas mereka adalah pihak yang mendukung LGBT. Dari hal ini, kemajuan IPTEK sebaik apapun, Revolusi Industri yang dinaikkan pada level setinggi apapun, akan semakin menambah panjang list fenomena ‘orang yang tahu dalam ketidaktahuannya’, serta budaya (merujuk pada makna budaya pada bagian awal) baik kita jelas akan punah, jika tidak dibarengi dengan pemberadaban diri serta peningkatan kecerdasan kita sebagai manusia untuk tidak terburu-buru membuka mulut dan memainkan jari, sebelum mendapatkan data yang sahih.
Pronojiwo, 29 Juni 2020
Oktavia Yermiasih
2) Ebenhaizer I. Nuban Timo, Buku Ajar: Polifonik Bukan Monofonik: Sebuah Pengantar Berteologi dari Perspektif Sosiologi Agama (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2019), 75.
3) Oxford Dictionary, diakses dalam www.oxfordlearnersdictionaries.com pada 29 Juni 2020, 15:00 WIB
4) ibid
5) Ebenhaizer I. Nuban Timo, Buku Ajar: Polifonik Bukan Monofonik: Sebuah Pengantar Berteologi dari Perspektif Sosiologi Agama, 83-84.
6) Pernyataan Sikap dan Pastoral PGI tentang LGBT, 17 Juni 2016, diakses dalam pgi.or.id pada 27 Juni 2020 pukul 10:49 WIB