gkjw.org -(Tulisan pertama dari dua tulisan)
2 – Siwering Kawilujengan - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 4 2 – Siwering Kawilujengan - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 4
3 – Memaknai Liturgi di Tengah Pandemi Sebagai Upaya Memperdalam Mistisisme 3 – Memaknai Liturgi di Tengah Pandemi Sebagai Upaya Memperdalam Mistisisme
1. Catatan Pengantar
Sejak “Majelis Ulama Indonesia (MUI)” Jawa Timur mengeluarkan tausiyahnya melalui suratnya No. 110/MUI/JTM/2019, yang menilai salam lintas agama sebagai syubhat yang dapat merusak kemurnian aqidah, telah menyulut kontroversi. Seperti diketahui, salam lintas agama akhir-akhir ini lazim dipraktekkan di Indonesia, seperti yang selalu diucapkan oleh Presiden Jokowi, para pejabat pemerintah, bahkan banyak dari tokoh-tokoh agama, baik Muslim maupun non-Muslim. Harus diakui pula bahwa dalam setiap agama pasti ada “ayat-ayat eksklusif”, yang mudah ditafsir dan dijadikan sebagai dalil untuk mempertahankan superioritas agama kita di atas agama-agama lain.
2. Eksklusifitas Teologis Dan Keserumpunan Bahasa
2.1. “Boleh atau Tidak”, Bagaimana dalil-dalil dan Konteksnya?
Dan berkaitan dengan salam lintas agama, dalam Islam sendiri ada ulama membolehkan, tetapi tidak sedikit pula ulama yang mengharamkannya. Salah satu dalil yang mengharamkan salam lintas agama, misalnya hadits riwayat Muslim No. 5789, sabda Nabi s.a.w.: “Lā tabda’û al-Yahûdsla wa lā al- Nashāra bi as-salām” (Janganlah kalian memulai memberi salam kepada orang Yahudi dan Nasrani). Berdasarkan pertimbangan bahwa Islam harus menghormati non-Muslim tetapi tidak boleh memuliakan mereka, maka dalam Hadits Bukhari No. 6259 dan Muslim No. 5789 disebutkan: “Idzā sallama ‘alaikum ahl al-kitābi faqūlū wa ‘alaikum” (Apabila kaum Yahudi dan Nasrani memberi salam kepada kalian, maka jawablah: Wa ‘alaikum, “dan untuk kalian juga”).
Namun bagi ulama yang membolehkan salam kepada non-Muslim, melihat konteks hadits di atas (sabab alwurûd) sebagai larangan dalam situasi perang. Pada waktu itu umat Islam hendak mengepung kaum Yahudi dari Bani Quraizhah, yang dinilai melanggar perjanjian Hudaibiyah. Padahal dalam Q.s. Al-Zukhruf/43:89 kepada orang kafir-pun diucapkan salam: “Fashfaḥ ‘anhum wa qul salām, fa saufa” (Maka berpaling-lah dari mereka dan katakan-lah: “Salam”, kelak mereka akan mengetahui). Jadi, dalam situasi damai mengucapkan salam kepada non-Muslim diperbolehkan oleh ulama sejak generasi sahabat, antara lain Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Umamah, dan masih ada yang lainnya.
Selanjutnya, bagi ulama yang melarang, mendasarkan pendapatnya dari riwayat Bukhari, seperti dikutip dalam Kitab ‘Adab al-Mufrad (dan disahihkan oleh Syeikh Albani), ketika sahabat Uqbah bin Amir r.a. menjawab salam seseorang dengan jawaban: “Wa ‘alaika wa raḥmatullahi wa barakatuh” (Dan bagimu juga serta rahmat Allah dan berkat-Nya), yang ternyata orang itu non-Muslim, maka sabda Nabi s.a.w.: “Inna raḥmatallahi wa barakātahu ‘ala al- mu’minīna, lakin adhāla llahu ḥayātaka wa aktsara mālaka wa waladak” (Sesungguhnya rahmat dan berkah Allah hanya untuk kaum beriman, tetapi semoga Allah memanjangkan umurmu, memperbanyak harta dan anakmu).
Belum lagi, ada sejumlah teks lain yang jelas memberi “salam” juga kepada non-Muslim Nabi sendiri mengirimkan surat kepada banyak penguasa non-Muslim dengan mengucap salam. Misalnya, surat Nabi kepada Heraklitus diawali: “Salāmun ‘ala man ittaba’ al-hudā” (Kesejahteraan bagi orang yang menerima petunjuk), sedangkan kepada Najasyi al-Asham diucapkan: “Salāmun ‘alaika” (Kesejahteraan bagimu). Berdasarkan salam Nabi kepada penguasa non-Muslim itu, ada pula yang berpendapat bahwa boleh mengucap salam tetapi formulanya harus berbunyi: “Salāmun ‘ala man ittaba’ al-hudā” (Kesejahteraan bagi orang yang menerima petunjuk). Jadi, salam hanya diberikan bagi mereka yang mau menerima petunjuk kepada Islam.
Lho, bukankah kepada Najasyi al-Asham, Nabi mengucapkan: “Salāmun ‘alaika” (Kesejahteraan bagimu)? “Karena Najasyi akhirnya masuk Islam”, jawab mereka yang tetap menolak memberi salam kepada non-Muslim. Jadi, boleh mendoakan panjang umur, murah sandang pangan dan banyak keturunan, tetapi rahmat dan berkah Allah hanya untuk Islam. Karena itu, ada pula yang berpendapat, tidak mengapa mengucapkan salam kepada non-Muslim, asal saja tanpa “wa raḥmatullahi wa barakātuh” (serta rahmat dan berkat-Nya).
Lalu apakah panjang umur bukan rahmat Allah, dan banyak rezeki atau banyak anak bukan termasuk berkahNya? Tinggal bagaimana masing-masing kita mendefinisikan kata “salam”, “berkat”, dan “rahmat” tersebut, bukan? “Bukankah kaum non-muslim juga berkata rahmat dan kasih sayang Allah?”, tulis Al-Sya’bī seperti dicatat dalam Tafsir al-Qasimi 3/244. Menurut Tafsir al-Qurthubi, sahabat Abu Umamah al-Bahili, setiap kali berjumpa dengan seseorang, baik muslim atau non-muslim, selalu mengucap salam. “Agama”, katanya, “selalu mengajar kita untuk menebar salam kedamaian” (Tafsir al-Qurthubi, 11/111).
2.2. Keserumpunan Bahasa Tak Pernah Menuntut Hak Cipta
Sebenarnya, tak berlebihan kalau ada yang berpendirian demikian silahkan setiap agama mengucapkan salam masing-masing. Tak perlu yang Muslim memaksa lidahnya untuk fasih mengucap “Om swastiastu”, atau sebaliknya yang Buddha tak harus bisa mengeja “Shalom”, dan yang Muslim tak usah harus lancar mengeja “Namo Buddhaya”. Seperti bebek yang “kwek, kwek”, tak perlu menjadi ayam yang “petok, petok”, atau kambing yang “embek, embek”. Masing-masing dengan “bahasa”-nya sendiri. Itu juga tidak ada salahnya. Namun, kalau hanya sebatas itu, maka toleransi kita baru seprimitif bahasa “bebek ayam rajakaya” yang belum sanggup “tata jalma” (berbicara bahasa manusia). Padahal yang kita butuhkan sekarang, bukan sekedar kita bisa “tata jalma”, tetapi juga mampu “tata jalma mring sasama kang beda-beda tanpa rubeda” (berbicara dalam bahasa manusia yang berbeda-beda tanpa halangan). Itulah proses “saling belajar” mengkomunikasikan antara sesama ciptaan Allah, termasuk saling memahami “bahasa agama” sesama kita. Terlepas dari dimensi teologisnya, karens “bahasa agama” itu lahir dari budaya dan zaman yang berbeda, maka diperlukan saling membaca dan memahami simbol yang berbeda agar supaya tercipta kesalingpahaman satu sama yang lain. Katakanlah, semacam lompatan “meta-religious language” agar pada dataran sosiologis kita lebih terbiasa “tidak sama tetapi bisa bersama-sama”, sekalipun secara teologis kita mengembangkan sikap “Setuju dalam ketidaksetujuan” (agree in disagreement).
Nah, justru dalam kerangka pikir yang demikian, ternyata masih ada ruang untuk jujur mendialogkan simbolsimbol keagamaan yang dibungkus oleh keterbatasan bahasa manusia. Misalnya, keserumpunan bahasa. Ternyata kata Arab َ“salām” yang kita perdebatkan ini serumpun dengan kata Ibrani “Shalóm”, atau kata Syriac/Aramaik “Shlama”, dan ”As-Salāmu ‘alaikum” paralel dengan bahasa Ibrani ָׁ“Shalóm ‘aleikhem”, atau Syriac/Aramaik “Shlamā ‘amkun”. Artinya sama, “Salam sejahtera bagi kalian”. Penerapan teologisnya juga ternyata tak jauh berbeda dalam ketiga agama.
Dalam al-Qur’an, al-Ra’d/14:24, digambarkan para ahli surga disambut malaikat dengan َ“Salāmun ‘alaikum” (Kesejahteraan atas kalian). Dalam “Haggadah Pesaḥ” (Liturgi Paskah) Yahudi, ungkapan salam ָׁ“Shalóm ‘aleikhem”, juga dikaitkan dengan malaikat: “Shalóm ‘aleikhem malakhei HaSharet malakhei ‘Elyon” (Kesejahteraan bagimu semua, wahai para malaikat yang melayani, para malaikat dari Yang Maha-tinggi). Dengan Luk. 2:14, teks Peshitta, maka kita pun bisa membayangkan nyanyian para malaikat ketika memberitakan kelahiran Yesus kepada para gembala, pasti menyapanya dengan “shlamā” dalam bahasa Aramaik, bahasa sehari-hari mereka:“Tishbūhtā l’Alaha b’amraume w’al ar’ā Shlamā wsabrā tabā labnai nashā” (Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi dan sejahtera di bumi bagi orang-orang yang berharapan baik).
Dengan teks Alkitab Peshitta Syriac/Aramaik, sejumlah ungkapan dalam teks asli Yunani, bahasa yang juga eksis sebagai “lingua franca” pada abad pertama, menemukan kembali konteks aslinya, yaitu “bahasa asli” Yesus dan para rasul-Nya di Galilea. Begitu juga, dengan terjemahan al-Quran bahasa Ibrani, kisah para nabi Ibrani, kini kembali mendapatkan nama-nama dan bahasa asli mereka. So, Ibrahim pasti tidak mengucap salam dalam bahasa Arab َ“Salāmun ‘alaika” (Q.s. Maryam/19:47), karena pada zaman Ibrahim bahasa Arab belum eksis dipakai. Jadi, lebih mungkin Ibrahim mengucapkan ׁ“Shalom”. Salah satu contoh saja, dalam al-Qur’an terjemahan Ibrani, kata “salām” diterjemahkan menjadi “Shalóm”. Q.s. Yasin/36:89 dalam bahasa aslinya: َ“Salām, qaulan min rabb ar-raḥīm” (“Salam” sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang), diterjemahkan ׁ“Shalóm haimerah aleihem meet elohīm raḥūm” (“Shalóm” sebagai ucapan dari Allah Yang Maha Penyayang).
3. Catatan Refleksi
Nah, kalau begitu “Shalóm” yang di Indonesia dikenal sebagai salam Kristiani, di Israel umat Islam juga mengucapkannya sebagai bahasa sehari-hari mereka, tanpa memandang agama. Sebaliknya, kalau di Indonesia “As-Salāmu ‘alaikum” adalah khas salam Muslim, di negara-negara Arab diucapkan bersama-sama oleh Yahudi, Kristen dan Muslim. Bahkan dalam Injil terjemahan bahasa Arab, Yesus menyapa para murid-Nya dengan “Salāmun ‘alaikum” (Yoh. 20:19, Good News Arabic Bible). Di negara-negara Timur Tengah yang lebih homogen hanya dihuni umat Islam, seperti Saudi Arabia, akan lebih mudah menarik suatu bahasa secara eksklusif milik agama tertentu, tetapi tidak demikian dengan negara-negara Arab yang lebih heterogen dan banyak umat Kristen, seperti Mesir, Yordan, Syria, Lebanon dan Palestina, di sana bahasa Arab tidak selalu identik dengan Islam.
oleh : Bambang Noorsena
2019 ISCS©All Rights Reserved