Tidak Memberikan Mutiara pada Anjing atau Babi



Tidak Memberikan Mutiara pada Anjing atau Babi, Gerakan Warga GKJW, Gerakan Warga GKJW

Tidak Memberikan Mutiara pada Anjing atau Babi

a. KEJADIAN 24: 34-38
b. MATIUS 11 : 16-19, 25-30.

1. Mengikut Kristus menjadikan seseorang mesti bertindak cerdik dan bijaksana. Karena setelah milik-Nya dimerdekakan dari kuasa dosa, orang tersebut ternyata diutus Yesus ke dunia membawa kabar keselamatan bagi seluruh alam semesta itu, justru dilukiskan dengan Sabda : ”..kamu Ku-utus ke dunia seperti domba di tengah-tengah serigala!”.. (Mat. 10: 16; Lukas : 10: 3). Serigala adalah kategori anjing liar yang hidup di hutan, dan dia sangat jahat, pemangsa domba. Karena gambaran dunia yang kejam itu, maka Tuhan Yesus juga bersabda : ”Hendaklah kamu cerdik seperti ular, tapi tulus seperti merpati.”. (Matius 10: 16)

2. Di Bulan Keluarga ini salah satu hal penting diingatkan bagi kita semua adalah, bagaimana Keluarga Kristiani juga mempersiapkan putra-putrinya memasuki arena juang dunia yang sedemikian tadi dilukiskan oleh Tuhan Yesus. Betapa kita diingatkan pentingnya Pendidikan Karakter atau holistic bagi kehidupan lestari keluarga kita. Pendidikan yang bukan hanya menyangkut urusan “jasmaniah” semata, namun juga keseimbangan “rohaniah” (spiritual) juga. Menarik dicermati pada nasehat Rasul Paulus kepada warga jemaat di Kolose saat itu. Salah satunya menyinggung, bahwa hal menjadi orang-tua bagi anak. Dalam hal pendidikan anak-anak, kita dinasehati agar para orang-orang tua, “tidak menyakiti hati anak-anaknya”. (Menyakiti dlm bhs. Yunani ERETHISETE ; ερεθιξετε; menjadikan hati yang terluka; Kolose 3: 21). Hal itu dikatakan Rasul Paulus dalam konteks mendidik kerohanian dan sikon para anak-anak mereka itu sudah dan sedang taat (Kolose 3: 20 Taat=Hupakouete). Artinya mereka betul-betul bersedia mentaati orang-tuanya oleh karena para orang-tua ini dalam mendidik, tidak hanya “pandai” berkata-kata saja, namun mereka memang konsisten melakukan juga. Para orang tua dalam bertindak, mereka sendiri juga “HUPAKOUETE”; υπακουετε alias taat kepada Sabda Tuhan.
Nah, jikalau anak-anak mereka sudah taat mana-mungkin ada orang tua yang mau “mengecewakan“ mereka (anak-anaknya) dengan mencederainya?. Kata “melukai” disini agaknya dalam pengertian yang demikian. Barangkali dalam mendidik anak juga dalam hal menjadikannya “disiplin”; TIDAK HARUS memakai cara KEKERASAN. Namun adalah teladan nyata dalam kehidupan, itu lebih mengena, daripada nasehat dengan memakai banyak kata, tapi tanpa teladan nyata. Suatu hal yang akan menjadikannya sia-sia.

3. Di masa kita sekarang; dimana manusia cenderung memuja “kebendaan” (materi); seringkali penekanan pendidikan ukurannya hanya pada aspek KEBERHASILAN artifisial saja. Sukses yang demikian itu hanya nampak pada tanda-tanda kulit luarnya saja. Sesuatu yang terkesan “wah”! Sehingga nilai (biji) angka-angka sering menjadi kebanggaan para orang tua jaman now, jika tidak mau dikatakan sebagai suatu “kesombongan”. Sementara sikap rendah-hati (budi-pekerti) pada anak mereka; bisa menghargai pendapat orang-lain, justru sering dilupakan. Alhasil, banyak sikap anak-anak yang tidak mengerti “tahu berterima-kasih”, pada saat ia gagal dan ditolong orang lain (sesamanya). Ukuran pendidikan yang demikian dalam bahasa keren-nya hanya diukur “Brilliant IQ” (Intellectual Quotient) saja. Padahal banyak kisah usahawan; wiraswastawan berhasil, justru saat ia berhasil “mensinergikan” (seimbang) antara kepandaian (Intelek; IQ) dengan Emosional (EQ). Tentunya bagi keluarga Kristen masih perlu ditambah lagi. Bukan hanya Emotional Quotient (EQ) dan Intellectual Quotient (IQ), satu lagi yakni harusnya dilengkapi SQ (Spiritual Quotient). Pendidikan yang demikian; sudah seharusnya dilakukan sejak “dini” alias masa anak-anak.

4. Teladan nyata dalam kehidupan di era Perjanjian Lama dinampakkan teladan keluarga Abraham, saat Ishak menginjak dewasa, saatnya menikah. Tradisi kuno, para orang-tualah yang mencarikan pasangan hidup bagi anak-anak mereka. Bahwa Abraham menunjuk hambanya yang sangat setia dan dapat dipercaya tuannya yakni yang bernama Elieser. Dia diutus Abraham ke daerah asal Abraham (babilonia kuno; daerah Irak; sekarang ini) ini sebagai suatu bentuk tanggung-jawab yang tak mudah. Suatu hal yang menarik, bahwa jikalau Elieser telah dipesan Abraham. Jikalau ia nanti telah menemukan gadis sebagaimana dikehendaki Abraham. Dia (perempuan calon jodoh Ishak), mesti secara demokratis, ditawari lebih dahulu, untuk mau meninggalkan daerah asal, menikah dengan Iskak dan tinggal di Kanaan (tanah terjanji dari Allah buat rencana-Nya) atau tidak. Andaikan dia menolak, maka Elieser telah BEBAS TUGAS. Dalam hal ini, Abraham juga tidak “sembarangan” mencarikan jodoh bagi anak-nya; semisal mengapa tidak mau mengambil menantu dari antara dinasti asli, penduduk tanah Kanaan? Sebab kita kemudian tahu bahwa orang asli Kanaan sebetulnya TIDAK MENYEMBAH YAHWE, tapi menyembah berhala-berhala. Penyembahan ini yang ternyata dalam ritus pemujaannya memerlukan korban BAYI MANUSIA juga. Suatu hal yang TIDAK MUNGKIN dilakukan oleh Umat Tuhan Yahwe yang adalah Mahakasih. Tindakan dan idealisme Abraham terhadap keluarganya jelas sekali, menampakkan ketaatan mutlak Abraham HANYA dan HANYA kepada Allah saja. Orientasi/tujuan hidup Abraham tidak kepada yang lain-lain. (Ulangan 6: 4-5)

5. Dalam bacaan kedua di Kitab Perjanjian Baru; Matius 11 teladan kita kini, kita dapatkan pada figur Yohanes Pembaptis dan pada Tuhan Yesus sendiri. Sementara REAKSI negatip terhadap teladan Iman kita-lah yang ditekankan dalam Injil Matius 11 ini. Betapa tidak, Yohanes yang saleh. Kemudian Tuhan Yesus yang adalah presentasi (kehadiran Allah di bumi; IMANUEL) dengan tanda-tanda mujizat sekalipun, ternyata ditolak juga oleh dunia ini (Yohanes 14: 17). Nah, apakah ini bukan merupakan isyarat buat kita, bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa sebaik dan sebenar apapun perilaku hidup kristiani kita, bisa saja kita tetap dicuekin, alias tidak direspon apa-apa. Bahkan juga mungkin malah kita ‘dijahati’ oleh serigala yang buas! Karena itu Tuhan Yesus juga mengatakan: ”Jangan memberikan Mutiara itu kepada Anjing dan Babi”… Dalam hal ini konteks percakapan tentang Anjing dan Babi bukan Tuhan Yesus hendak membicarakan bahwa Anjing dan Babi itu jenis binatang (ciptaan) yang hina sehingga layak diharamkan, bukan. Dalam hal (konteks) ini Tuhan Yesus mengajar hal “KEPANTASAN’ (KELAYAKAN). Bagaimana mungkin Mutiara; perhiasan indah itu diberikan buat Babi atau Anjing?… Mereka binatang, bukan manusia yang memang mengerti keindahan dan mengenakan mutiara sebagai perhiasan kemuliaan bagi diri manusia. Demikian juga hal PENDIDIKAN dan PENGAJARAN KEBENARAN yang terpancar dari Injil Yesus Kristus, tak pantas jikalau diberikan kepada orang yang justru menolaknya (tidak mengimaninya). Orang yang menolak, menghina dan meremehkan kebenaran Injil, bahkan menyangkalnya itu dilukiskan Anjing (serigala buas) dan Babi.

6. Pendidikan kebenaran (Spiritual) akan “menancap” menjadikannya sebagai “habit” (kebiasaan) yang baik jikalau diberikan sejak kecil. Sesuatu yang kita ajarkan kepada anak-anak kita sejak dini melalui teladan nyata laku hidup kita. Bukan berhenti pada percakapan doang. Karena di era pandemik Covid-19 sekarang ini, terjadi juga REVOLUSI KEHIDUPAN di pelbagai bidang kehidupan manusia di muka bumi ini. Perubahan besar yang serba cepat dan digerakkan oleh Revolusi Industri jilid 04; yang salah satunya dipengaruhi perkembangan teknologi IT (Teknologi Informasi). Internet kini menjadi “makanan kita” keseharian yang nampak pada penggunaan WA, HP, komputer, dll.. Bahkan kecerdasan-kecerdasan tiruan (virtual) yang lebih canggih ikut membentuk “wajah” keseharian kita. Kita hanya bisa mempersiapkan generasi; anak-anak kita juga melek teknologi, tanpa kehilangan jati-dirinya sebagai manusia yakni sebagai Gambar Illahi! Demi keberhasilan pendidikan anak dalam keluarga, marilah kita semakin bertekun dalam Tuhan. Dalam hal pewarisan nilai kehidupan iman, JANGAN MEMBERIKAN MUTIARA KEBENARAN itu kepada “Anjing” ataupun “Babi”. Marilah kita sampaikan kepada para manusia; mahkluk gambar Illahi itu dengan penuh tanggung-jawab, sebagaimana teladan Iman Abraham, Yohanes Pembaptis bahkan Tuhan Yesus sendiri !. selamat mendidik.

Lawang, 3 Juli 2020.
Disarikan dan dijabarkan dari RK. MA GKJW, Tgl. 05 Juli 2020.
An. KPTJ Lawang; Pdt. Sistrianto

Title: Tidak Memberikan Mutiara pada Anjing atau Babi
Permalink: https://gkjw.org/638-tidak-memberikan-mutiara-pada-anjing-atau-babi/
Category: Renungan