gkjw.org -( Sambungan dari gkjw.org )
2 – Belajar dari Lomba Balapan 2 – Belajar dari Lomba Balapan
3 – Literasi Finansial Dalam Pengelolaan Dana Abadi 3 – Literasi Finansial Dalam Pengelolaan Dana Abadi
3. Hidup Selaras dengan Tuntutan Tao
Chuang Tzu berkata: “Orang-orang benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian”. Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan”, lagi kata Lao Tze, “sama konstannya dengan datangnya malam dan pagi. Manusia tidak bisa berbuat apapun tentangnya” (Burton Watson, The Complete works of Chuang Tzu, New York: Columbia University, 1968).
Hidup selaras dengan Tao adalah tzu-jan “mengikuti alam” dan wu-wei “tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak seirama dengan alam”. Filosofi ini melahirkan hidup yang bersahaja, apa adanya. Namun juga berjuang keras untuk menjalani hidup sesuai dengan tuntutan Tao, “jalan abadi” sesuai dengan relnya sendiri.
Saya tidak terlalu ahli tentang Taoisme, meskipun saya membaca berkali-kali "Tao Te Ching", sabda Lao Tze. Dan tentu saja, sebagai guru Tao Ibu Mega mendalami dan melakukannya selama hidupnya. Dalam implementasi praktisnya, hal itu dibuktikan dengan kesetiaannya kepada sang suami, yang pernah mengalami kecelakaan jatuh di lobang 15 meter, bukan hanya setia merawatnya di kala sakit, tetapi juga menggantikan perannya mencari nafkah bagi anak-anaknya dengan berjualan mie dan es lilin. Itu semua demi suami tercinta dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Dan ketika sang suami sudah sembuh dan bisa bekerja kembali, guru Taoisme ini tetap bekerja membantu suaminya, sampai 10 tahun kemudian ketika sang suami terlebih dahulu dipanggil Tuhan.
Waktu itu usia beliau masih muda. Meskipun banyak teman-teman menyarankan agar beliau menikah lagi, namun hal itu tak dilakukannya. Atas nama cinta, sisa usia kehidupannya dibaktikan kepada “jalan Tao” untuk menerima kodratnya, yaitu membesarkan anak-anaknya sampai berhasil. Dalam perjuangan hidupnya yang amat berat, setapak demi setapak dijalaninya, hingga mulai membuahkan keberhasilan, namun sekali lagi, jalan Tao dibuktikannya dengan tetap hidup bersahaja.
Mendengar kisah keteladanan hidupnya, saya justru membayangkannya sebagai “surat Kristus” di antara banyak orang yang menapaki jalan cinta derita-Nya. Lho bukankah beliau guru Tao? Ibu Mega akhirnya menemukan bahwa Tao yang sebelumnya tak diketahui nama-Nya itu ternyata Sang Kristus sendiri. “The Real of Tao” adalah Yesus dalam wujud pra-eksistensi-Nya: "In the beginning was the Tao, and the Tao was with God, and the Tao was God".
Ya, Yesus adalah Tao itu sendiri, yang "the same was in beginning with God" (Yoh. 1:2), dalam pra-ada-Nya sebagai Firman, seperti Alkitab terjemahan bahasa Mandarin. Sebaliknya, dalam wujud inkarnasi-Nya sebagai manusia, Yesus adalah keteladanan yang dibayangkan ideal oleh Guru Lao Tze, yang hidup kira-kira enam abad sebelum kedatangan Yesus ke dunia (cf . Yoh. 1:14). “… kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup” (2 Kor. 3:3). Firman Tuhan ini sudah dijalankannya dalam kehidupan Ibu Mega, meskipun mungkin waktu menjalani beliau sendiri tidak menyadarinya.
4. Catatan Refleksi
Saya sangat terkesan dengan beliau, sekalipun waktu itu adalah perjumpaan untuk pertama kalinya. Pada waktu dikemukakan dengan jujur keberatan-keberatan beliau tentang Iman Kristen, atau lebih tepat “pemahaman beberapa orang Kristen dan praktek kehidupan mereka”, sebagai orang yang begitu mendalami falsafah Tao, mendengar “ajaran instant” beberapa orang Kristen kharismatik, yang maaf – tetapi ini pun tidak semua – yang hanya menekankan "pokoknya percaya”, tidak menjelaskan iman itu, tentu saja dahulu sangat sulit diterimanya.
Padahal seperti tertulis dalam Alkitab: "Mekîl haimanûta men mashma’ ednâ hî w’mashmâ’ ednâ men melta d’Alahâ”. Jadi, Iman itu timbul dari pendengaran, dan pendengaran itu dari firman Allah (Roma 10:7, teks Peshitta Aramaik). Iman yang seperti apa yang muncul dari pendengaran yang kabur dan berita yang tidak jelas? Mungkin Kristen seperti dianggap terlalu “lahiriah”, eksoteris, dan kurang adab sehingga bertabrakan dengan rasa ketimurannya.
"…Last but not least”, kini Ibu Megawati sudah pulang setelah menyelesaikan perjuangannya di dunia. Dengan menerima Kristus tidak berarti Tao adalah lawan imannya, tetapi justeru dijelaskan dan diungkapkan lebih mendalam. Sahabatku, ikhlaskanlah kepergiannya dan jangan bebani perjalanannya dengan air matamu. Firman Tuhan ini menguatkan kita semua: "….berdirilah teguh, jangan goyah, dan giat-lah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia" (1 Kor. 15:58,TB).
"De Museum Cafe", Malang, 7 Juli 2020.
Oleh: Dr. Bambang Noorsena