PENTAKOSTA: Tanpa Kuatir



PENTAKOSTA: Tanpa Kuatir, Gerakan Warga GKJW, GKJW.org

"Gereja sekarang lebih banyak bikin masalah dari pada menjadi jawaban." kalimat itu diucapkan seseorang yang ada di seberang gawai dengan nada marah. Sebut saja namanya Hans, seorang pengusaha yang tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Aku mengenal Hans pada pertengahan 2016 saat melayani di sebuah persekutuan doa, dia salah satu pengurus persekutuan doa itu.

Sabtu sore kemarin Hans menghubungiku, dia sedang pusing dengan salah satu staf di kantornya yang minta ijin untuk pulang lebih cepat karena mau ibadah di gereja, sementara staf ini sedang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah memasuki tenggat waktu. Kalau saja ada staf lain yang memiliki keahlian setara dan bisa menggantikan dia, pasti diijinkan, karena tidak ada staf pengganti, Hans tidak memberi ijin.

Rupanya stafnya tidak menyerah, dia menghubungi gembalanya yang kenal dengan Hans. Mungkin pikirnya kalau gembalanya yang bicara, Hans pasti segan dia diijinkan pulang cepat.
Menurut Hans, gembalanya kurang bijaksana, tidak berusaha memahami duduk persoalannya langsung menyebut Hans menghalang-halangi orang mau beribadah. Karena menghormati pak gembala, Hans mencoba menjelaskan kenapa dia tidak memberi ijin, penjelasannya ditolak. Pak gembala justru menyerang Hans dengan hal lain yang tak ada hubungannya dengan stafnya.

Merasa teritorialnya diacak-acak dan dirinya diserang, Hans murka, dia berkata pak gembala jangan ikut campur urusan pekerjaannya. Pembicaraan diputus oleh Hans tanpa permisi, setengah jam kemudian Hans menghubungiku untuk menumpahkan semua kekesalannya. Walau bicara jarak jauh, aku bisa merasakan Hans masih terbawa emosi ketika menjelaskan dirinya diintimidasi oleh gembala stafnya, Hans dibilang tak menghargai Roh Kudus. Ibadah yang mau dihadiri stafnya adalah bagian dari rangkaian ibadah Pentakosta yang diyakini akan terjadi pencurahan Roh Kudus.

Tentu Hans tidak terima, selama ini stafnya itu sering minta ijin pulang cepat dengan alasan mau ke gereja, Hans selalu ijinkan. Kali ini tidak diijinkan karena memang tidak memungkinkan, kebetulan ijin itu tak diberikan bertepatan dengan ibadah yang katanya akan terjadi pencurahan Roh Kudus, lalu dengan enaknya pak gembala menuding Hans tak menghargai Roh Kudus.

Dalam amarahnya Hans protes, apakah Roh Kudus hanya bisa tercurah di dalam gedung gereja, dan harus dipersiapkan atau dikemas dalam ibadah khusus. Apakah Roh Kudus tak bisa tercurah kepada pengendara mobil di jalan, membuat pengendara itu jadi tertib berlalu lintas misalnya. Atau tercurah di tempat pelacuran menimpa seorang suami yang sedang lupa anak dan istrinya, kehadiran Nya membuat dia sadar akan istri dan anak-anaknya, atau tercurah di tempat kerja mengubah etos kerja seorang karyawan jadi penuh integritas, dan tercurah ditempat lainnya memperbaiki akal budi manusia.

Aku belum menjawab, Hans sudah melanjutkan. Seandainya Roh Kudus tercurah kepada sepasang suami istri yang nyaris cerai, kemudian mereka saling mengampuni, berubah dari saling menyakiti menjadi saling mengasihi. Akhirnya anak-anak melihat rumah yang tadinya berisi pertengkaran berubah menjadi penuh canda tawa riang karena papa mamanya saling gelitik di depan anak-anaknya, apakah itu tidak termasuk pencurahan Roh Kudus.

Terakhir Hans menantang, kalau memang pencurahan Roh Kudus hanya bisa terjadi di dalam ibadah dan harus di gereja, perubahan seperti apa yang diharapkan gereja. Apakah hanya sekedar menyanyi sampai menangis, lalu bicara dengan bahasa baru, meraung-raung, tumbang, menggelepar dan itu disebut mengalami lawatan. Setelah pulang dari gereja tetap nonton pornografi, berkata kasar, pemarah, mahir bergosip, masih mata duitan dan pelitnya kambuh-kambuhan.

Kalimat "Gereja sekarang lebih banyak bikin masalah dari pada menjadi jawaban.", terlontar di bagian ini. Katanya gereja terlalu sempit memahami kehadiran Roh Kudus hanya dengan pemahaman, istilah dan gerakan religius yang dianggap benar secara doktrin mereka saja, ini yang jadi masalah.

Aku terpaksa menghentikan Hans, karena dia sudah terbawa emosi. Sebelum dia ngelantur lebih jauh, aku ingatkan, dia tetap boleh menumpahkan uneg-unegnya tetapi tak harus jadi marah. Setelah tenang, dia minta waktu untuk mengungkapkan pandangannya tentang Pentakosta. Jika Pentakosta adalah peristiwa tercurahnya Roh Kudus atas manusia, berarti manusia tak lagi berkuasa atas dirinya karena seluruh hidupnya ada dalam kendali Roh Kudus.
Kira-kira seperti apa model manusia yang ada dalam kendali Roh Kudus, pertanyaan itu dijawab sendiri, "Tuhan Yesus telah memberi teladan bagaimana hidup dalam kendali Roh Kudus secara total." katanya dengan tenang.

Tiba-tiba Hans menyebut Matius 4:1-11, dengan praktis dia menguraikan kisah Pencobaan di padang gurun. Hans berkata tegas "Inilah bukti kalau manusia mengalami Pentakosta, dia akan tunduk dibawa ke mana saja, tidak lagi mikir perutnya sendiri, tidak menyalahgunakan anugerah Tuhan, tidak silau dengan dunia dan segala isinya.".

"Salah satu tanda dari banyak tanda yang menyertai orang yang hidup dalam kendali Roh Kudus adalah dia tak akan pernah kuatir tentang apapun dan dalam situasi apapun." kata Hans mengakhiri pandangannya tentang Pentakosta.

Aku merasa tak perlu menanggapi apapun, karena dari awal aku hanya ingin memberi dia tempat untuk menumpahkan kekesalannya. Terima kasih kepada sidang pembaca yang sudah berkenan meluangkan waktu membaca tulisan ini, selamat merayakan Pentakosta dan terus menjadi berkat.

In His Vine
Finish Winarto
Nabire Papua.

Title: PENTAKOSTA: Tanpa Kuatir
Permalink: https://gkjw.org/914-pentakosta-tanpa-kuatir/
Category: Renungan