Menyikapi Pencobaan



menyikapi pencobaan gkjw - gkjw.org

gkjw.org -Bacaan: Matius 4: 1-11

Bapak, ibu dan saudara yang terkasih. Kisah buah pengetahuan maupun pencobaan di padang gurun tentu terdengar sangat familiar. Kita semua tahu garis besar dan hasil akhir keduanya. Adam dan Hawa yang jatuh dalam dosa sedangkan Tuhan Yesus, bertahan hingga akhir dari pencobaan iblis. Tapi, ketika kedua teks tersebut dikontraskan begitu saja dengan menitikberatkan pada tokoh/subjeknya, yaitu Adam dan Yesus, bisa jadi kita jatuh pada pemikiran: "yo mesti wae hasile beda, lha wong ya Gusti mesti seje karo manungsa". Ada upaya pembelaan diri kita sebagai manusia biasa, jika diperbandingkan dengan Tuhan Yesus.

Sang Ilahi tentu berbeda dengan manusia, namun marilah kita berpikir dengan adil. Bahwa senyatanya posisi Adam dan Yesus sebenarnya seimbang. Pada saat di taman Eden, Adam dan Hawa adalah ciptaan yang baik, bahkan sungguh amat baik, dan Tuhan Allah memberkati mereka beserta seluruh ciptaan (Kej. 1:31, 2:3). Keistimewaan lain yang ditampakkan dalam bacaan kita hari ini adalah bahwa manusia (Adam dan Hawa) pada mulanya dapat mendengar langsung dan berkomunikasi dengan Tuhan Allah (Kej. 2: 16). Hal itu menunjukkan tidak adanya jarak manusia dengan Tuhan yang Maha Kudus. Dalam kondisi yang demikian pencoba/penggoda yang mewujud dalam si ular hadir. Ular memprovokasi manusia (Hawa dan Adam) untuk melanggar perintah Tuhan dan mengutamakan keinginan diri. Dan demikianlah akhirnya manusia jatuh dalam dosa.

Sedangkan Yesus, ke-Ilahi-an Nya tentu tidak diragukan lagi. Namun sekalipun Dia yang adalah yang Ilahi tetaplah terbatas dalam raga manusia (Mat. 4:2). Puasa selama 40 hari bukanlah pekerjaan yang mudah, sekalipun Alkitab/PL memberi kesaksian jika sebelum Yesus ada manusia yang mampu menjalaninya yaitu Musa dan Elia. Dalam rasa lapar si penggoda (iblis) berusaha membuat Yesus menjauh dari kehendak Bapa-Nya dan mengutamakan diri dengan berbagai tawaran yang tampak menarik. Namun akhirnya Dia bergeming dan mengusir iblis dari hadapan-Nya.

Nah, keduanya seimbang, yaitu memiliki sifat manusiawi tetapi sekaligus juga ilahi. Dan godaan itu menghampiri keduanya. Tawaran yang menggiurkan untuk mencapai apa yang diinginkan bahkan yang dibutuhkan diberikan kepada Adam juga Yesus. Namun, kedua kisah itu berakhir berbeda bahkan bertolak belakang.

Dalam hidup sehari-hari setiap orang tidak lepas dari godaan. Mulai dari hal yang sederhana: makanan yang enak-enak padahal bisa menimbulkan berbagai penyakit, kemalasan/ yang anak muda sekarang istilahkan dengan mager (males gerak) untuk sekolah, kerja bahkan ke gereja; atau bahkan yang menyangkut hal krusial, seperti kesetiaan dalam rumah tangga yang diperhadapkan dengan ketampanan/ kecantikan pihak ketiga, uang yang diburu seorang pegawai bahkan dengan cara korupsi, narkoba yang menawarkan kenikmatan, "gelar juara" melalui jalan pintas dengan mencontek, atau bahkan jabatan yang menutupi iman. Mungkin kalau dibuatkan daftar, kita bisa menuliskan berlembar-lembar contoh lainnya. Siapakah yang salah? Apakah si orang ketiga, uang, narkoba, gelar juara, jabatan atau hal-hal lain yang menarik itu? Bagaimana hasil akhir kisah/contoh di atas, jika subjeknya adalah kita (panjenengan dan saya)?

Dalam surat Roma, Paulus mengisahkan bahwa setiap manusia itu saling terkait. Hal itu diungkapkan dalam kerangka pikir Yahudi tentang solidaritas/ kesetiakawanan. Hal itulah yang menjadikan seluruh umat manusia menanggung dosa seperti halnya Adam. Namun, secara positif hal itu juga dapat berlaku untuk keselamatan dalam Tuhan Yesus (Rm 5:17). Pemberlakuan anugerah itu adalah bagi mereka yang "…menerima kelimpahan kasih karunia…".

Kembali ke pergumulan mengenai pencobaan yang senantiasa ada dalam kehidupan, pengalaman Adam, kesaksian tentang Yesus Kristus, serta pandangan Paulus mendidik kita menuju suatu kesadaran: penggoda dan godaan dapat mewujud dalam berbagai hal dan tidak jarang terasa begitu menggiurkan namun hasil akhir bukanlah tergantung pada si penggoda, melainkan pada setiap manusia yang menghadapinya. Bahwa manusia memiliki naluri untuk mudah tergoda, itu benar, namun bukan berarti kita tidak berdaya menghadapi pencobaan. Kristus memberi teladan nyata, bahwa Dia mampu menghadapi pencobaan dengan mengarahkan diri dalam kehendak Tuhan, atau yang oleh rasul Paulus dibahasakan dengan kesediaan menerima kelimpahan kasih karunia.

Sebagai pengingat bagi kita, ada sebuah kisah imajinatif yang demikian:
Alkisah dalam surga, iblis tiba-tiba masuk dan bercakap-cakap dengan Tuhan:
Iblis: "Tuhan, aku pensiun saja dari dinas di dunia"
Tuhan: "Lha ada apa? Kok tiba-tiba mau pensiun? Ndak suka ya dengan pekerjaanmu?"
Iblis: "Dulu sih aku suka, sangat menikmati malah… tapi sekarang, belum juga aku berbuat apa-apa manusia sudah lebih lihai melanggar kehendak-Mu. Di bagian itu sebenarnya aku masih happy-happy saja. Tapi, yang ndak bisa ku terima Tuhan, mereka selalu menyalahkan aku: aku berzina gara-gara bisikan iblis, aku mencuri, korupsi, tawuran, narkoba, dsb…mereka katakan semua gara-gara aku! Padahal nyatanya mereka memilih semuanya itu sendiri, untuk kesenangan pribadi!"
Tuhan: "hahahaha…." (Tuhan nampak tertawa mendengar keluh kesah iblis, senyatanya hatiNya bersedih melihat anak-anakNya di dunia)

Di masa pra-paskah ini, mari kita belajar untuk lebih mawas diri, menjaga sikap dan tutur kita serta bertanggung jawab atas tindakan yang kita perbuat. Godaan pasti selalu ada, namun mari kita tidak dengan mudah mengkambinghitamkan berbagai hal tersebut bahkan membawa-bawa iblis sebagai biang keladi semua masalah. Karena iblis bisa saja ngambeg ketika dijadikan alasan atas pilihan bebas kita. Dan yang lebih penting, mari kita memilih untuk tidak melukai hati Tuhan, seperti yang telah dilakukan Adam, melainkan sebaliknya, karena kita ini milik Kristus, mari kita meneladani kesetiaan-Nya.
Amin.

Oleh: Pdt. Joko Hadi
GKJW Pesanggaran

Gambar diambil dari ebahana.com

Title: Menyikapi Pencobaan
Permalink: https://gkjw.org/459-menyikapi-pencobaan/
Category: Renungan