Sembilan Puluh Tahun MA GKJW: Menilik Dari Sejarah



Sembilan Puluh Tahun MA GKJW: Menilik Dari Sejarah

Genap lima belas tahun silam, saya menulis sebuah artikel untuk buku Kenang-kenangan 75 Tahun Majelis Agung Greja Kristen Jawi Wetan (MA GKJW). Artikel itu dimulai dengan mengutip ayat yang berbunyi “sira saka ing ngendi, lan paranira menyang ngendi?” (dari manakah datangmu dan kemanakah pergimu?) yang diambil dari Kitab Purwaning Dumadi 16:8b (Kejadian 16:8b).

Kutipan ini terinspirasi manuskrip dari mendiang Pdt. Ismanoe Mestoko tentang sejarah umat kristiani-jawa. Ayat ini berisikan sebuah pertanyaan eksistensial tentang kita, sebagai GKJW, “dari manakah kita datang dan kemanakah kita pergi?”

Pertanyaan ini mengandung pengertian yang bersifat asali. Mirip usaha epistemologis orang Jawa menemukan “sangkan paran” atau asal-tujuan kita. Jika GKJW merupakan wadah sinodial dari jemaat-jemaat Kristen tradisional di Jawa Timur, maka pertanyaan itu patut direnungkan kembali ketika MA GKJW berulangtahun ke 90, pada 11 Desember 2021 ini.

Pendirian MA GKJW yang selalu dirayakan sebagai “mula berdirinya GKJW” sebenarnya hanya sebagian saja dari proses kekristenan di antara orang Jawa Timur. Kekristenan di antara orang Jawa Timur sudah berjalan lebih dari seabad sebelum MA GKJW didirikan.

Jika hendak ditempatkan dalam situasi sosial-politik awal abad ke 20 Masehi maka pendirian MA tidak bisa dilepaskan dari dua dorongan besar. Dorongan itu adalah: (1) tumbuhnya nasionalisme di antara orang Indonesia; dan (2) munculnya krisis hubungan antara lembaga penginjilan dari Belanda dengan umat Kristen di Jawa.

Awal dari MA sebenarnya apa yang disebut Konferensi Penginjil. Sejak tahun 1900, para penginjil dari Belanda sudah teratur bertemu. Seorang penginjil Eropa lazimnya memimpin sebuah wilayah disebut resort yang terdiri dari beberapa jemaat Kristen Jawa Setiap jemaat dipimpin oleh seorang Guru Injil didampingi para pemuka jemaat.

Jika jemaat tersebut memiliki sekolah atau balai pengobatan maka ada tenaga pendidik (guru) dan kesehatan (mantri dan perawat). Gaji untuk membayar Guru Injil, cetak-mencetak, biaya operasional dari balai pengobatan dan sekolah, dibantu oleh lembaga penginjilan dari Belanda.

Pertemuan secara teratur ini umumnya membicarakan beberapa hal: keanggotaan jemaat dan personil yang melayani (penginjil, Guru Injil pemuka jemaat dan pendidik), persoalan keuangan dan peraturan-peraturan kehidupan berjemaat. Konferensi Penginjil ini secara bertahap dianggap sebagai wadah koordinasi tertinggi, atau semacam “majelis agung” yang berperan dalam mengatur organisasi dari jemaat-jemaat Kristen Jawa.

Sementara itu, dalam arus perkembangan nasionalisme yang menguat di Indonesia, khususnya setelah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, muncul kegelisahan di antara orang Kristen Jawa. Kegelisahan ini terkait identitas orang Kristen Jawa yang juga merasa sebagai bangsa Indonesia.

Konferensi Penginjil mengamati perkembangan nasionalisme di antara orang Kristen Jawa. Mereka melihat orang Kristen di Jawa Timur juga “berani” berorganisasi, mulai dari pembentukan Rencono Budijo (1898), Mardi Pracoyo (1913) hingga Pakempalan Guru Christen (1923).

Dinamika ini lantas dikomunikasikan dengan Dr Hendrick Kraemer dari Nederland Bijbel Genootschap yang ditugaskan ke Indonesia untuk mendukung gerakan penginjilan di tengah arus nasionalisme.

Kraemer melaksanakan survei ke Jawa Timur dan menemukan dari 29 pasamuwan atau jemaat Kristen Jawa pada tahun 1930 sebanyak 13 menghendaki kemandirian penuh dalam mengelola kehidupan berjemaat, 13 menginginkan sebagian wewenang saja dan hanya 3 saja yang ingin tetap tinggal dalam keadaannya saat ini.

Berdasarkan pertemuan dengan berbagai tokoh jemaat Kristen Jawa, Kraemer menyakinkan perlunya membentuk suatu majelis yang mempersatukan jemaat-jemaat Kristen di Jawa Timur. Ini upaya meredam kegelisahan orang Kristen Jawa di tengah perubahan sosial-politik di Indonesia. Ia pun berkomunikasi secara intensif dengan konferensi para penginjil dan pengurus lembaga penginjilan di Belanda.

Akhirnya, pada tahun 1931 disepakati menyatukan semua jemaat Kristen di Jawa Timur dengan nama Pasamuwan-pasamuwan Kristen Jawi ing Tanah Jawi Wetan. Nama ini menunjukkan bahwa gereja adalah sebuah kesatuan dari berbagai pasamuwan atau jemaat.

Sebagai sebuah kesatuan, kedudukan semua pasamuwan adalah setara dan menyatu di dalam wadah MA yang didirikan kemudian. Koordinasi antar pasamuwan atau jemaat dilaksanakan melalui MA, berbeda dari Konferensi Penginjil yang semula merupakan wadah koordinasi tertinggi antar pembimbing jemaat Kristen Jawa.

Kata pasamuwan atau jemaat disebut lebih dulu sebagai “subyek” ketimbang organisasi MA itu sendiri. Kesatuan ini diuraikan dengan sederhana dalam penjelasan: “Rengkuh-rinengkuhanipun pasamuwan satunggal-satunggal kaliyan majelis agung kados griya lan banonipun.” (Hubungan menyatu antara masing-masing jemaat dengan majelis agung adalah serupa batu bata dengan bangunannya).

Pendirian MA ini dilakukan melalui sidang pertama pembentukan yang dilanjutkan dengan penetapan pengurus MA pada tanggal 11-12 Desember 1931 di Mojowarno, Jombang. Saat didirikan sebagai organisasi yang mempersatukan jemaat-jemaat, jumlah pasamuwan yang bergabung ada 45. Jumlah warga seluruhnya 11.891 orang dewasa dan 11.013 anak, dengan Guru Injil (disebut juga Pendeta Jawa) yang diberi wewenang melayani sakramen sebanyak 30 orang dan 8 orang tanpa kewenangan melayani sakramen.

Sebagai Pengurus MA yang pertama adalah Ketua C. W. Nortier, Sekretaris Mas Puger dan Bendahara M. Poertjojo Gadroen. Kedudukan Nortier adalah sebagai penginjil utusan Belanda untuk Jawa Timur, ia bukan pendeta. Sepanjang masa Belanda menjajah Indonesia, kepemimpinan MA diisi para penginjil Belanda secara bergantian.

Sebagai pedoman dari gereja baru ini disusun dokumen berjudul Serat Tatanan Greja tumrap Pasamuwan-pasamuwan Kristen Jawi ing Tanah Jawi Wetan. Pedoman ini mengalami tiga kali perubahan, dengan dua dokumen perantara yang bersifat sementara. Setelah edisi pertama (Mojowarno, Desember 1931) ada revisi kedua: Tata lan Pranatané Greja Kristen Jawa ing Jawa Wetan (Swaru, November 1948). Selanjutnya terdapat dua versi sementara (Tatanan Juni 1967 yang ditetapkan di Surabaya dan Pranata November 1969 yang ditetapkan di Suwaru), sebelum ditetapkan revisi ke tiga berjudul Serat Tata lan Pranatanipun Greja Kristen Jawi Wetan (Malang, Januari 1970). Perbaikan terakhir menghasilkan revisi ke empat, berjudul Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan (Malang, Juni 1996).

Sejarah singkat pendirian MA GKJW ini mengerucut pada sebuah kesimpulan: MA GKJW didirikan oleh karena lembaga penginjilan Eropa bermaksud mempertahankan peran mereka dalam membina jemaat-jemaat Kristen Jawa.

Pendirian MA GKJW bertujuan menjadi wadah koordinasi dari jemaat-jemaat yang berkedudukan setara. Sampai saat ini pun kekuatan terbesar di belakang GKJW adalah jemaat-jemaat yang bersepakat menyatukan diri untuk membangun sinergi dalam menghadapi perubahan zaman.

Setelah lembaga penginjilan Belanda angkat kaki dari Indonesia pada masa penjajahan Jepang, MA GKJW mengalami perpecahan, sedangkan jemaat-jemaat mengalami kesusahan dan siksaan tiada sedikit. Kesulitan ini menghasilkan perenungan bahwa kekuatan gereja ini bukanlah pada ketergantungan pendanaan atau teologi dari Belanda, tapi harus bersumber dari kekuatan jemaat sendiri.

Dua kali GKJW diuji di alam kemerdekaan Indonesia. Pertama pada periode yang penuh tragedi saat terjadi perpindahan kekuasaan antara tahun 1965-1966; kemudian kedua, pada periode pra-reformasi dan reformasi tahun 1996-1999. Dalam pergumulan di kedua masa sulit ini GKJW belajar menemukan bahwa gereja itu memerlukan organisasi yang kukuh.

Lantas, pada hari ini 11 Desember 2021, MA GKJW berulang tahun dengan tema yang menggelegar, “Menyatakan Karya Allah dalam Kemandirian Bergereja.” Saya sepakat dengan tema ini dengan melihat sejarah di mana jemaat-jemaat ini menjadi bagian integral dari kekuatan GKJW. Oleh karena itu, untuk bisa mewujudkan tema ini secara nyata maka ada hal-hal yang harus benahi dalam organisasi MA GKJW.

Pertama, kita harus berani melawan kecenderungan menjadikan organisasi gereja ini feodal. Pada awalnya MA GKJW memang didirikan dengan tujuan “menjinakkan” nasionalisme di antara umat Kristen Jawa. Sehingga melalui wadah ini tidak muncul benturan dengan penjajah Belanda.

Walau demikian, melalui proses yang menyakitkan sepanjang masa 1942-1946 dan periode kritis lainnya, MA GKJW berhasil bertransformasi. Nah, dalam kerangka ini, penting untuk tidak membangun kultur dan hirarki “priyayi” dalam mengurus gereja. Sikap enggan menerima masukan, ketidakterbukaan dan perilaku status quo dapat menjadi antitesis terhadap tujuan MA GKJW sebagai persatuan jemaat-jemaat di Jawa Timur.

Kedua, kita wajib menolak sikap enggan bertanggungjawab. Sastrawan Mochtar Lubis mengatakan, bangsa kita ini mudah untuk segan bertanggung jawab atas perbuatan, perkataan dan tindakan. MA GKJW harus menjadi organisasi pembelajar yang senantiasa melakukan perbaikan untuk maju.

Seakan-akan menjadi “budaya” untuk mudah melupakan kesalahan. Lazim, bagi kita –juga saya– untuk bersikap pura-pura, lain di muka, lain di belakang, oleh karena adanya kekuatan-kekuatan dari luar yang mendorong kita menyembunyikan apa yang dipikirkan, dikehendaki atau dirasakan, oleh karena khawatir apabila itu diungkapkan akan timbul bencana daripadanya. Sikap enggan bertanggungjawab dan tidak terbuka ini merupakan ancaman bagi organisasi gereja kita.

Bagaimana pun juga, sudah saatnya membangun kekuatan jemaat yang memiliki organisasi akuntabel dan terbuka. MA GKJW itu rumah besar kita, bukan milik sebagian pengurusnya saja.

#gkjwkita
#katresnangkjw

Title: Sembilan Puluh Tahun MA GKJW: Menilik Dari Sejarah
Permalink: https://gkjw.org/1007-sembilan-puluh-tahun-ma-gkjw-menilik-dari-sejarah/
Category: Artikel