gkjw.org -Penelitian secara medis menunjukkan, menyanyikan lagu-lagu rohani memiliki efek psikoterapi yang khas secara neurofisiologis. Analisis oleh Gao et al. (2019) menemukan, selama kita menyanyikan suatu pujian rohani, ada bagian endogen dari otak mengalami perubahan kimiawi secara regional yang diakibatkan munculnya osilasi (gelombang) delta.
2 – Semua ber-ikhtiar - H+3 PSBB.sby 2 – Semua ber-ikhtiar - H+3 PSBB.sby
3 – Gereja Baru 3 – Gereja Baru
Bahasa ilmiah ini kalau mau disederhanakan kira-kira begini bunyinya: menyanyikan lagu (pujian) rohani bikin otak kita menciptakan rasa nyaman, menurunkan tingkat ketegangan dengan melepas produk kimiawi yang menyebabkan hati jadi tenteram, menurunkan denyut jantung dan melandai pernafasan. Jadi, menyanyikan lagu rohani, atau mengulang pujian-pujian, memiliki efek terapeutik.
Ini sebenarnya disadari hampir semua agama besar di dunia. Aliran kabbalistik bagi penganut agama Yahudi, dan sufisme Islam yang dipengaruhi budaya Persia di Timur Tengah, memakai lagu puji-pujian untuk mempersiapkan kondisi trance. Demikian pula kebiasaan menyanyikan pujian rohani juga dianut para pembaca vedik di India, atau parita dalam tradisi Buddhisme, sebagai pengantar menuju meditasi yang mendalam.
Jangan khawatir. Orang Jawa pun mengenal tradisi menyanyikan pujian rohani. Berbagai tembang sebagai bentuk turunan dari metrum Jawa, dipakai untuk mengajar, mendidik, menumbuhkan rasa tenang dan mendekatkan diri dengan “Sang Maha Pencipta.”
Konon pada suatu masa, kekristenan Jawa pernah memakai tembang yang merupakan bentuk tradisional dari pujian rohani sebagai sarana kontemplasi. Para perintis kekristenan di Jawa Timur, seperti Kiai Tunggulwulung, Bau Aris Wiryoguno, Paulus Tosari, bahkan Abisai Ditotruno, memakai tembang sebagai media menemukan kedamaian (bersama Tuhan).
Salah satu tembang yang kerap dipakai, setidaknya sampai akhir 1950-an adalah Rasa Sejati. Tembang ini digubah Paulus Tosari setelah beliau berguru "elmu ng-Isa Rohullah" pada Sunan Kulon, alias Tuwan Kolem, alias Coenrad Laurentz Coolen di Ngoro, sekitar tahun 1830.
Pujian dalam wujud tembang -menurut saya- adalah salah satu penciptaan tradisi kekristenan masa silam. Produk ini sangat ampuh dan merupakan salah satu prestasi budaya di jemaat kristiani-jawa saat itu.
Memang sih, pada masa itu para pendahulu kita belum risau akan cengkeraman kapitalisme atas kepengurusan suatu gereja. Belum ada dana abadi, belum ada birokrasi gereja. Mereka lebih risau babi hutan merusak kebun salak. Mungkin saja demikian.
Kalau hari ini kita lebih risau dengan untung-rugi dan machtsvorming (pembentukan kekuasaan) di dalam gereja, maka itu soal panggilan zaman.
Entah lagi kalau soal untung-rugi dan machtsvorming itu justru mengelabui kita sehingga tak sadar surutnya daya rohani gereja ini. Semoga saja tidak. Lha wong genetika gereja kita ini lho sebagai penyintas. Kadang-kadang selamat, kadang-kadang kandas. Sesekali Kidung Pasamuwan, selebihnya Happy Asmara dari Kediri Selatan. Asyik tok …
Tak apa. Kita sruput dulu teh pahit ini.
Malang, 21/06/2021
#katresnangkjw