gkjw.org -(Bagian Pertama)
2 – Rapal Pengandelan - C.L. Coolen nan Unik - Bagian 2 2 – Rapal Pengandelan - C.L. Coolen nan Unik - Bagian 2
3 – ALLAH (kok) Punya Anak - H+17 PSBB.Sby 3 – ALLAH (kok) Punya Anak - H+17 PSBB.Sby
“Kemarin adalah sejarah, esok adalah misteri, hari ini adalah anugerah”, pepatah Cina ini rasa-rasanya menjadi relate, terutama di situasi kita yang sekarang ini. Tahun 2020 telah sampai di setengah perjalanannya, dan begitu banyak peristiwa di tahun ini yang mencengangkan dan tidak pernah dipikirkan oleh kita semua yang cukup memukul eksistensi kita sebagai umat manusia. Pada bulan ini saja, Juni, belum reda huru-hara pandemi COVID-19, jagat dunia dunia maya gempar dengan aksi brutal yang berujung pada kematian, yang dilakukan seorang aparat penegak hukum Amerika Serikat terhadap salah seorang warganya yang berkulit hitam bernama George Floyd yang tak lama dituding sebagai tindak rasisme, dan memunculkan tagar #BlackLivesMatter di Twitter dan kemudian merambah ke Instagram, lalu juga ‘menyulut’ gugatan rasisme yang juga berada di Bumi Pertiwi ini, ya, Papua. Belum selesai dengan itu, 18 Juni 2020, jagat dunia maya kembali riuh dengan dipostingnya sebuah ‘deklarasi’ dari akun resmi Instagram milik Unilever yang menyatakan bahwa mereka membuka kerjasama inklusif dengan orang-orang yang oleh dunia dimasukkan dalam kategori “LGBTQI”.
Deklarasi yang dilakukan Unilever ini didukung dengan wajah baru logo huruf U yang awalnya berwarna biru gelap hampir hitam berubah menjadi warna pelangi, yang mana warna pelangi adalah simbol mewakili keberadaan teman-teman yang biasa kita panggil dengan kaum LGBT. Feed dari akun Unilever ini kemudian disambar oleh orang-orang di berbagai belahan dunia, tak terkecuali dari Indonesia. Komentar mereka beraneka ragam nadanya, ada yang setuju, namun tentu juga ada yang kontra. Membaca kolom komentar, saya terfokus pada mereka yang kontra, banyak sekali akun yang berkomentar dengan bahasa Indonesia dengan menyerukan “Boikot Unilever” baik melalui tagar maupun tanpa tagar. Ironi, mereka yang bersuara “boikot” lewat media sosial Instagram maupun Facebook rupanya belum tercerahkan dengan apa yang sebenarnya mereka lontarkan. Dari fenomena ini kemudian ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian kita bersama.
Pertama, LGBTQI dan keberadaannya di negeri Pancasila, sebenarnya pembahasan tentang LGBT ini bukan pembahasan yang benar-benar baru di ranah akademik, sosial, agama, maupun politik, terkhusus di Indonesia, namun LGBTQI belum mencapai titik yang benar-benar final. Melalui komentar-komentar di atas jelas bahwa negara kita adalah negara yang belum ‘ramah’ terhadap keberadaan kaum LGBT dan belum bisa menerima keberadaan mereka (meskipun sudah banyak pihak baik individu maupun komunal yang terang-terangan mengatakan “apa yang salah dengan LGBT?”, saya atau kami fine-fine saja. Hukum kita jelas masih belum setuju dengan itu), ini nyata melalui disahkannya pada putusan-putusan yang sudah dibuat oleh para wakil rakyat yang salah satunya tertuang dalam UU Pasal 284, 285, dan 292 KUHP yang ‘mengutuk’ segala hal yang berbau LGBT, karena itu dianggap mengancam ‘kestabilan’ tatanan sosial-budaya bangsa Indonesia. Terlepas dari peraturan tertulis, tanpa ditulis pun, budaya kita (budaya bukan melulu tentang adat istiadat, blangkon dan kebaya, dialek Suroboyoan atau Blitaran, makan roti atau nasi jagung, bukan juga tentang lagu-lagu daerah, namun lebih dari itu, yaitu mindset atau pola pikir juga nilai-nilai yang menjadi dasar bagaimana kita menjalani kehidupan kita sehari-hari, yang mana itu sudah mendarah daging dan mengakar kuat dalam diri setiap kita) jelas-jelas menolak LGBTQI.
( Bersambung ke Bagian Kedua gkjw.org )
Pronojiwo, 29 Juni 2020
Oktavia Yermiasih