Becik Ketitik "Gendheng" Ketara



Becik Ketitik "Gendheng" Ketara, Gerakan Warga GKJW, UMKM GKJW.org

gkjw.org -Kalau anda itu menghayati budaya Jawa pastilah pernah mendengar pepatah bijak warisan leluhur orang Jawa yang berbunyi “Becik Ketitik Ala Ketara”. Pepatah ini terjemahan letterlijk-nya adalah “Yang Baik (akan) terbuktikan, Yang Busuk (akan) tersingkapkan”. Di baliknya terkandung bertumpuk makna agung mulia yang tak akan pernah cukup untuk dituliskan.

Kalaupun sekarang saya mengutipnya itu bukan berarti saya hendak menjabarkan maknanya. Saya sadar belum cukup bijaksana untuk mengurainya melalui pikiran terbatas saya. Oleh karena itu saya bisanya ya cuma memelesetkannya menjadi “Becik Ketitik Gendheng Ketara”. Bagi saya, kata “gendheng” lebih netral daripada “ala”.

Saya memang belum punya keberanian menghakimi dengan mengatakan “ala” terhadap pihak lain. Kata “gendheng” lebih mewakili apa yang saya maksudkan. Kata ini tidak serta merta NEGATIF, karena kata “gendheng” memang bisa dimaknai “jauh lebih negatif daripada sekedar negatif”, tetapi sebaliknya juga bisa berarti “melebihi takaran pada umumnya” atau “out of the box”.

“Kamu itu memang gendheng, sudah tahu begitu ditabrak juga, sekarang rasakanlah…”

atau

Gendheng! Pintar sekali kamu ternyata…”

Jadi kata ini bisa untuk merendahkan sehina-hinanya, atau memuji setinggi-tingginya. Ringkas kata, penilaiannya melebihi batasan umum.

Bahwa “out of the box” dalam tulisan ini mau anda maknai dari perspektif positif atau perspektif negatif, itu sepenuhnya terserah anda. Anda bebas menginterpretasinya dari posisi manapun anda berdiri sekarang ini. Entah anda merasa punya agenda tersembunyi atasnya atau tidak, itu bukan urusan saya. Itu bukan domain saya. Saya di sini cuma sekedar mau menyandingkan kata “gendheng” tersebut dengan kata “keadilan”.

Terutama keadilan Tuhan yang tersembunyi di balik pepatah pelesetan “Becik Ketitik Gendheng Ketara” itu. Artinya Tuhan selalu akan menyingkapkan sesuatu itu sebagai “becik” atau “gendheng” pada waktu yang sangat tepat. Leluhur kita menyebutkannya dengan istilah “ana titi wancine”. Entah itu dalam hitungan sedetik atau selusin tahun. “Titi Wanci” itu tidak bisa kita atur. Itu hak Tuhan.

nDilalah “titi wanci” Tuhan itu ya rentang waktu sekarang ini. Jadi sungguh betul yang disebutkan Rasul Paulus dalam Roma 12:19 yang merujuk pada Ulangan 32:35 di mana Tuhan sendiri bersabda : “Pembalasan itu adalah hak-Ku.” Dalam kerangka pikir sekuler apalagi profan bisa saja hal ini dipersepsi sebagai “suatu kebetulan”, tetapi dalam persepsi Jawa ini adalah pola dari Sang Hyang Widhi.

Tuhan memang Maha Pengampun, cinta-Nya memang lebih luas dari segala ciptaan-Nya, tetapi bukan berarti lantas dia sekedar menjadi bapak tua yang baik hati tapi pikun dan terlalu mudah melupakan kejadian di masa lalu. Dia adalah adil baik dulu, sekarang maupun yang akan datang. Dan tidak satu makhluk pun yang bakal luput dari keadilan-Nya yang abadi itu, karena kerangka waktu memang tak pernah cukup untuk mengurung-Nya. Dia itu omni-present.

Bahwa keadilan-Nya beda dengan yang mampu kita persepsi, itu pasti. Bahwa penyingkapan-Nya bisa terjadi kapan saja, itu niscaya. Bisa sebelum peristiwanya terjadi (pra-eksistensi). Bisa persis pada saat peristiwanya terjadi. Juga bisa saja selusin tahun setelah peristiwanya terjadi. Oleh karena itu, bukan lagi “kapan-nya” yang penting di sini, melainkan “respon” kita terhadap kuasa-Nya yang seperti itu.

Respon kita terhadap keadilan-Nya di balik “Becik Ketitik Gendheng Ketara” itu menjadi penting, karena Dia tidak pernah pandang bulu. Entah Sampeyan itu warga awam yang sangat biasa, maupun oknum istimewa yang sedang duduk di singgasana setinggi langit dengan seabrek jabatan khusus. Entah Sampeyan itu pria mapan berwibawa, ataupun wanita karier setengah tuwa. Itu tidak akan pernah bisa meluputkan kita dari penyingkapan-Nya yang luar biasa..

Berbahagialah yang walaupun “gendheng” tetapi penuh dengan cinta dan siap menerima segala penyingkapan yang Tuhan nyatakan dengan rendah hati. Mari kita ikuti irama tarian keadilan Tuhan ini dengan penuh suka-cita, jangan dengan wajah mrengut. Gak usah dipikir nemen-nemen, langsung eksekusi mau duduk bersila di bawah pohon klengkeng, maupun penek’an di atasnya, di hadapan-Nya sama rendahnya koq. Persepsi kita saja yang mempermainkan kita seolah bisa membedakan kalau penek’an itu lebih tinggi daripada yang duduk bersila.

Title: Becik Ketitik "Gendheng" Ketara
Permalink: https://gkjw.org/876-becik-ketitik-gendheng-ketara/
Category: Artikel