gkjw.org -Agak terhenyak dengan beberapa posting yang muncul di Grup Greja Kristen Jawi Wetan hari-hari terakhir ini. Tanda tagar #saveGKJW menjadi kata kunci yang muncul serempak. Beberapa pesan di grup WhatsApp kemudian memberi gambaran apa yang sebenarnya yang terjadi. Termasuk beredarnya foto yang menyertai tulisan ini.
2 – Semua ber-ikhtiar - H+3 PSBB.sby 2 – Semua ber-ikhtiar - H+3 PSBB.sby
3 – Lukisan Tangan Berdoa 3 – Lukisan Tangan Berdoa
Inti permasalahan yang muncul adalah potensi terkatung-katungnya dana abadi yang dikelola Pengurus Harian Majelis Agung (PHMA) GKJW senilai kurang-lebih Rp 8,9 miliar. Uang ini konon diinvestasikan ke sejumlah badan usaha dan berisiko tidak dapat ditarik kembali (secara utuh). Ada yang mengatakan ini kesalahan investasi, tapi saya menganggap perlu ada audit yang kompeten untuk bisa menyimpulkan. Sebuah Tim Investigasi telah dibentuk PHMA GKJW untuk memeriksa persoalan ini.
Hal yang terpenting saat ini menurut saya adalah: bagaimana hasil Tim Investigasi terhadap kasus dana abadi GKJW ini bisa diakses tidak saja oleh PHMA namun juga oleh semua Pengurus Harian Majelis Daerah (PHMD) dan jemaat-jemaat yang berkepentingan.
Sederhananya, kesalahan penempatan dana yang kini “terkunci” ini perlu menjadi pembelajaran bagi para pengelola dan tentunya kita semua yang mengelola uang masing-masing. Bila hasil Tim Investigasi terbit maka ini juga akan menjelaskan kesalahan organisatoris yang menyebabkan dana abadi sebesar Rp 8,9 miliar tersimpan secara non-financially wise. Ini erat kaitannya dengan upaya menjamin akuntabilitas organisasi, agar mereka yang bertanggungjawab atas pengelolaan dana abadi di lingkup PHMA mendapatkan pelajaran dari peristiwa ini.
Selain itu, tak kalah penting adalah memanfaatkan informasi yang diperoleh dari Tim Investigasi untuk memulihkan dana yang “terkunci” ini. Walau mencapai untuk itu prosesnya akan cukup panjang dan berliku.
Untuk memperjelas situasi, mari kita lakukan analisis sederhana untuk memahami secara anatomis, bagaimana proses pengelolaan ekuitas dari pengurus gereja menyebabkan sebagian dana abadi GKJW malah “terkunci.”
Menurut saya persoalan pokoknya adalah lemahnya literasi keuangan dari para pengelola. Ini jika kita tak mau menyebut keinginan berlebihan untuk meraup keuntungan dengan melupakan keberhati-hatian serta kompetensi dalam mengelola dana.
Sederhananya begini, coba kita lihat komposisi uang yang ditempatkan di beberapa lembaga keuangan.
Sebagian uang ditanamkan di PT Indosterling yang sebenarnya merupakan perusahaan jasa investasi yang bermain valas. Uang yang ditanamkan jelas bukan giro, tabungan atau deposito, namun kerjasama investasi. Kerjasama semacam ini mungkin untung dan mungkin rugi. Kalau gain (untung) besar maka risiko akan besar. Apesnya, PT Indosterling saat ini bermasalah dalam memenuhi kewajibannya dan tentunya menimbulkan risiko karena investasi yang ditanam bisa pupus. Apalagi, perusahaan ini belum diketahui apakah memiliki izin beroperasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kerjasama yang dibuat pengelola dana abadi GKJW yang dalam hal ini adalah PHMA dengan PT Indosterling adalah kerjasama yang seharusnya disikapi dengan hati-hati. Proposal kerjasama ini seharusnya diuji dan ditimbang. Tak semata tergiur margin atau return on investment yang tinggi.
Saat ini PT Indosterling sendiri berada di bawah keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Perusahaan investasi ini dinyatakan dalam situasi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Ini adalah prosedur yang dapat dilakukan kepada PT Indosterling untuk menghindari kepailitan. Tampaknya ada kesulitan bayar di perusahaan ini untuk memenuhi janji investasinya.
Dana abadi GKJW sebesar Rp 4,65 M ditempatkan oleh PHMA di PT Indosterling dan akan dicicil pengembaliannya oleh perusahaan tadi melalui mekanisme PKPU sampai 2027. Kalau melihat tanggal PKPU diputuskan Pengadilan Niaga pada 9 September 2020 berarti pengelola dana abadi GKJW sudah tahu ada masalah dengan investasi mereka. Problemnya kalau PT Indosterling kemudian wanprestasi dan kemudian gagal membayar sehingga masuk ke ranah kepailitan.
Contoh lain dari minimnya pemahaman soal pengelolaan uang adalah penempatan dana di Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Koperasi ini bukan (sekali bukan) bank. Mereka tak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan tak diregulasi oleh OJK melainkan di bawah dinas perkoperasian. Sifat dasar dari koperasi adalah keanggotaan kolektif, jadi kalau dana yang ditempatkan tak dapat dicairkan karena koperasi merugi maka akan sangat panjang proses mengeluarkannya. Nilai investasi di KSP ini cukup besar: Rp 4,22 miliar.
Sebenarnya ada banyak penyedia jasa keuangan di publik yang lebih prudent dan prospektif. Contohnya adalah pembelian surat utang negara (SUN), obligasi atau juga produk keuangan lain yang dijamin oleh Negara. Cuma bunga yang diberikan memang relatif kecil, kadang-kadang sedikit saja di atas suku bunga deposito. Mungkin karena haus laba maka pengelola dana abadi GKJW melakukan investasi memakai KSP dan badan usaha semacam PT Indosterling.
Lalu, apa risiko menempatkan dana di KSP atau badan usaha investasi? Ya seperti kita lihat saat ini: berpeluang macet, atau dibayar secara bertahap, dan belum tentu dapat utuh dipulihkan. Investasi dana abadi oleh PHMA GKJW mengalami risiko ini.
Akhirnya, bekal yang wajib dimiliki siapapun yang mengelola dana adalah literasi keuangan: suatu sikap cermat, tanggap dan berhati-hati dalam mengelola apa yang dipercayakan. Sebuah pesan universal sebenarnya. Juga bagi PHMA GKJW, walau agak terlambat.
Malang 28/04/2021
#katresnanGKJW