gkjw.org -(Tulisan Pertama)
2 – Hempaskan Say... 2 – Hempaskan Say...
3 – Gereja Baru 3 – Gereja Baru
"New Normal", istilah itu tiba-tiba populer di paruh pertama tahun 2020 ini. Nyaris semua kalangan mendadak membicarakannya, paham atau tidak paham, kita dipaksa paham. Ngerti atau tidak ngerti, kita dipaksa ngerti. Mulai Presiden sampai pesinden dituntut melakoninya. Tidak boleh ada status "awam" dalam hal ini.
Frasa “New Normal” sudah melampaui dan mendahului status terminologisnya sendiri. Ia bukan lagi sekedar ucapan atau kata-kata, karena ia sudah membobol sangkar konseptualnya. Ia sudah bukan sekedar gagasan lagi. Ia adalah sikap. Ia adalah tindakan, perbuatan atau perilaku. Ia adalah habit, YANG BARU, yang diperintahkan dan dieksekusikan atas kita. Tanpa kita bisa menolaknya. Selebar apapun jarak kesenjangan antara tindakan dengan teori atau konsep yang masih tinggal di dalam mindset seseorang, orang itu tetap dipaksa menjalankan praktik New Normal. Ini semacam takdir yang dijatuhkan atas kita. Ini jaman dimana kita terpaksa menjalankan perilaku yang (sangat mungkin) berseberangan dengan kehendak kita. Sangat mungkin pula di lubuk hati terdalam, sejujurnya kita belum bisa ikhlas melakoninya.
A. Kalibrasi Pikiran
New Normal merupakan pembalikan proses logika yg luar biasa. Kalau biasanya, ‘mindset’ menjadi tanah atas bangunan pikiran kita; dan ‘pikiran’ membimbing serta mengarahkan setiap 'tindakan' kita, maka sekarang proses tersebut dibalik. Dalam skala individu, ‘tindakan’ telah naik pangkat menjadi panglima, sedangkan ‘mindset’ dan ‘pikiran’ sekedar menjadi prajuritnya. Tidak penting lagi seberapa lama mindset dan pikiran harus menyesuaikan diri terhadap perilaku baru itu, tetapi ia tetap diwajibkan terus-menerus mengkalibrasi dirinya terhadap perilaku-perilaku baru yang kini menjadi rujukannya. Proses kalibrasi mindset ini bisa saja berkelanjutan sampai orangnya mati.
Contoh : Ibadah Online dan Ibadah Daring
Dalam kondisi "normal lama" sebelum pandemi Covid-19 menyergap kita semua, mana mungkin GKJW mengijinkan dan membenarkan ibadah online diberlakukan di kalangan warga jemaat. Meskipun tak kurang-kurang ikhtiar untuk mengingatkan para pendetanya bahwa tren hidup online pasti datang. Mungkin begitu juga kondisi ibadah-ibadah di gereja-gereja dan di agama lain yang mengalaskannya pada peribadatan kolektif.
Tetapi kini sejak Covid-19 mewabah di Indonesia, sinode GKJW secara rutin mengunggah dan menyebar video untuk ibadah online warga jemaat melalui Youtube dan media sosial lainnya. Sampai dengan artikel ini ditulis, sudah 108 buah jemaat yang memproduksi video ibadah online, baik rutin maupun insidentil. Pemuda di jemaat terbangkitkan kreativitasnya, mereka mengadakan ibadah atau diskusi daring melalui aplikasi Zoom, Google Meet, Youtube dan Instagram. ‘New Normal’ bukan lagi sekedar menyapa kita sebagai “tren”, melainkan sudah menggilas kita sebagai tatanan relasi yang wajib kita lakukan di pertemuan-pertemuan publik. Kita juga tak kuasa menolaknya.
Majelis tidak bisa lagi memantau laku ibadah warga jemaat. Apakah mereka rajin ibadah atau tidak? Apakah mereka mengikuti video ibadah GKJW atau gereja lain? Apakah video ibadah GKJW yg diikuti adalah video yang disediakan sinode, video jemaat sendiri atau video jemaat lain? Monitoring konvensional tidak bisa lagi dilakukan dalam konteks New Normal ini.
Ibadah pemuda GKJW yg umumnya dilaksanakan setiap Sabtu sore di jemaat masing-masing, kini berlangsung sangat cair. Para pemuda itu bisa saja mengikuti ibadah yang diselenggarakan oleh jemaat, gereja dan denominasi mana saja. Siapa yg bisa mengawasi, apalagi membatasi-nya?
Tidak Ada!
Batas-batas dan kewenangan konvensional telah luntur dengan sendirinya.
Semua ibadah online yang diikuti warga jemaat dilaksanakan di rumah masing-masing secara bebas. Otoritas pemberlakuan disiplin ibadah online tidak lagi berada di tangan Majelis, tapi sudah bergeser sepenuhnya ke tangan warga jemaat. Suasana pandemi Covid-19 secara tidak langsung telah mendorong meroketnya angka penggunaan gadget, media sosial dan aplikasi konferensi jarak jauh. Kalo dulu di jemaat-jemaat tertentu sempat ada pelarangan penggunaan gadget selama ibadah, sebaliknya sekarang ibadah-ibadah dilaksanakan dengan menggunakan gadget.
Mau tidak mau semua orang, terlebih majelis dan warga jemaat yang konservatif, dipaksa untuk mengkalibrasi mindsetnya agar sesuai dengan kenyataan praktis yang semakin umum terjadi. Semakin sulit mereka menerima kenyataan baru ini, maka akan semakin tersiksa batinnya. Jiwanya akan terus tegang terbelah antara realitas praktis New Normal dengan mindset konservatifnya yang tak kunjung move on dan kehilangan basis logisnya.
B. Tak Ada Langkah Balik
Covid-19 terlanjur muncul dan mempengaruhi secara kuat pola kehidupan kita. Kita tidak bisa lagi berasumsi seolah-olah Covid-19 tak pernah ada. Kita tidak bisa mengembalikan aliran waktu ke titik sebelum adanya Covid-19.
Kalau pun nanti kondisinya sudah dianggap "normal", maka kenormalan itu tak bisa lagi menghentikan ibadah daring yang terlanjur dilaksanakan para pemuda jemaat secara mandiri, terlebih kalau simpatisan ibadah itu meliputi pemuda lintas jemaat atau lintas gereja, karena komunitas daring yang melampaui batasan-batasan konvensional itu, sudah kadung terbentuk dan menawarkan keasyikan tersendiri bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Kenormalan baru itu sendiri malah menggelindingkan demokratisasi informasi secara snow-balling ke semua kalangan. Kemajuan teknologi IT yang berpadu dengan suasana pandemi Covid-19 telah menyulut dan meletupkan 'semangat efisiensi' atas segala hal. Tak ayal lagi ‘demokratisasi informasi’ yang bersandingan dengan ‘semangat efisiensi’ itu telah menjadi "pasangan serasi" yang sangat memikat siapa saja. Pada domain agama, maka wujudnya adalah ibadah online yang sudah saya sebut-sebut tadi, yang lagi populer di antaranya adalah ibadah daring karena faktor interaktif dan real time-nya.
Warga jemaat yang terlanjur gemar dengan ibadah online, tentu tak mudah berbalik ke ibadah konvensional yang dirasa makin kehilangan kehangatannya, karena jumlah peserta harus sangat terbatas, jaga jarak, pakai masker dan tak bisa lagi bebas bersalaman dengan siapapun seperti dulu. Dengan dialaminya ibadah online selama pandemi Covid-19, warga jemaat merasa mempunyai alternatif ibadah yang lebih efisien dan tak kuatir dihantui oleh penularan Covid-19. Ibadah online itu kadung berstatus sah untuk dilaksanakan oleh warga jemaat dimanapun dan kapanpun. Memang masih mungkin orang akan merindukan ibadah konvensional, tetapi cukup sampai disitu saja. Ibadah konvensional ke depan nanti hanya berpotensi menyandang status pengobat rasa rindu yang berguna untuk sekedar mengisi kenangan akan romantisme ritualitas masa lalu.
Pilihan atas model-model ibadah menjadi sangat banyak dan variatif. Mau ibadah model apa saja sudah serba tersedia di Youtube. Mau yang sensasional, yang ekspresif, yang moderat, yang konservatif atau yang meditatif, semua ada. Mau yang ibadah "full version" atau yang "paket hemat singkat padat" semua tinggal di-KLIK. Kalaupun mau bikin model ibadah sendiri juga gampang. Orang bisa lakukan ibadah daring pakai aplikasi konferensi jarak jauh lalu melakukan improvisasi maupun modifikasi sesukanya. Siapa yang sanggup mengontrolnya? Gelombang tsunami 'demokratisasi informasi' yg datang bergulung-gulung bersama 'semangat efisiensi' tak mungkin lagi dibendung. Kebebasan berkreasi dan berekspresi kini benar-benar terwadahi. Pandemi Covid-19 terlanjur membantu menyemaikannya secara masif. Adakah yang lebih menggiurkan warga jemaat selain 'kebebasan' ?
(bersambung ke Tulisan Kedua)
oleh: Mayank Yunica
Illustrasi gambar diolah dari
tsb.co.uk