gkjw.org -Saya tidak akan pernah lupa artikel pertama saya yang dimuat Duta. Artikel itu dimuat pada edisi April 1994, menceritakan kisah wayang Lakon Murwakala. Lakon yang umum dipentaskan dalam acara ruwatan. Dalam mitologi Jawa, ruwatan adalah suatu ritual untuk membersihkan orang-orang yang terancam oleh Sang Jahat.
2 – Semua ber-ikhtiar - H+3 PSBB.sby 2 – Semua ber-ikhtiar - H+3 PSBB.sby
3 – Siwering Kawilujengan - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 4 3 – Siwering Kawilujengan - Menuju Bujono Suci Pembangunan - Bagian 4
Kisah wayang ini coba saya ulas dari perspektif kekristenan. Ulasan yang cukup berani, kalau direnungkan sekarang, lantaran pengalaman saya sebagai penggemar wayang sangat terbatas dan artikel itu dimuat majalah yang hampir seluruhnya dibaca umat (Kristen) Jawa.
Untung tidak ada keluhan atau protes terhadap artikel saya. Sambutan positif ini memunculkan semangat menulis. Salah seorang pemimpin redaksi saat itu, Wardhani Tjiptowardhono, bahkan mendorong saya untuk terus menulis tentang wayang, agama dan kebudayaan.
Mungkin juga redaksi saat itu merasa kasihan pada saya, seorang pemuda kerempeng dengan rambut keriting, mengantar naskah ke kantor redaksi. Hehe. Tapi, apapun juga sebabnya, artikel pertama ini menjadi pengantar dari suatu kedekatan emosional yang tumbuh antara saya dan Duta.
Lebih tepat yang terjadi kemudian adalah saya belajar menulis bersama Duta. Melalui majalah ini, saya mendapat pengalaman hidup. Walau sejak sekolah dasar suka menulis, bahkan sewaktu kuliah bergabung dengan unit aktivitas pers mahasiswa, namun bagi saya pribadi menulis untuk sebuah majalah gereja adalah pengalaman yang sangat membekas.
***
Saya justru mendapat pengalaman bergereja bersama Duta. Apa yang barangkali disebut orang Kristen pada umumnya sebagai “pelayanan.” Saya juga bertemu banyak orang dan beragam arus pemikiran.
Majalah ini sekitar tahun 1993-1998 berkantor di sebuah ruang sempit di belakang poliklinik yang terletak di bagian depan Balewiyata. Hanya ada satu komputer model lama, sebuah lemari besar dan tempat tidur susun. Aneh tapi nyata, seorang teman saya ikut tinggal di kantor redaksi itu. Ia memasak, mencuci, makan, tidur dan menyunting Duta di ruangan itu.
Sesekali dalam seminggu, pemimpin redaksi ikut menginap di ruang sempit tadi. Mereka berbagi tempat tidur: teman saya tidur di bagian yang bawah, sedangkan sang pemimpin redaksi menginap di bagian yang atas.
Setiap ada waktu luang, saya berusaha datang ke kantor Duta. Sembari menyeruput kopi yang disediakan “tuan rumah” di tempat itu selalu ada diskusi. Tentang berbagai hal dan bermacam topik. Walau ruangan itu sempit namun pemikiran di sana sungguh lebar. Semasa itu kami membahas apapun, mulai filsafat, politik sampai ekonomi, mulai agama sampai ateisme, mulai keris sampai internet.
Berdiskusi dan menulis untuk Duta akhirnya menjadi sebuah kegiatan yang mencerahkan. Saya mendapat banyak pengalaman. Bersama-sama Trianom Suryandharu misalnya, saya ikut menulis laporan utama kerusuhan Situbondo, 10 Oktober 1996. Laporan utama kami dimuat pada edisi Nopember 1996 dan ludes habis sampai saya sendiri tidak punya arsipnya.
Tidak itu saja, saya menemukan banyak sahabat di Duta. Mereka memberi pengalaman yang luar biasa. Mulai mencari narasumber sampai berkejaran menulis setiap tenggat mendekat. Bersama-sama teman-teman yang berkumpul di sana, saya memperoleh kesempatan bertukar pikiran dengan orang-orang yang luar biasa. Sayang sebagian besar orang-orang itu kemudian tidak lagi bersama kita sekarang
Sebutlah mendiang Wismoady Wahono dan Sardjonan (semuanya mantan Ketua Majelis Agung GKJW) atau Benyamin Abednego (mantan Modaremen GKI Jatim yang merupakan alumni Sekolah Teologia Balewiyata). Juga banyak pula tokoh setempat yang arif: mendiang Kawignyan Asariya, keturunan Kiai Asariya yang merintis Desa Peniwen atau R. Hadi Wahyono, keturunan Kiai Karolus Wiryoguno sekaligus seorang sejarawan GKJW yang self-made.
***
Bagaimana pun juga, hal paling berkesan adalah kekuatan komunitas yang melatarbelakangi Duta. Majalah ini, yang kemudian baru saya ketahui, ternyata memang merupakan sebuah majalah “pergerakan.”
Ketika pertama kali diterbitkan Lectuur Commissie, suatu badan di bawah Raad Ageng (kini Majelis Agung) GKJW, Duta cuma berukuran setengah halaman folio. Dalam pengantar edisi perdana September 1935, redaksi menulis, tujuan majalah ini adalah “kanggé ngiyatakan tékad panjenengan ing salebetipun ndèrèk Gusti inggih tékad ing salebetipun penggayuh murihsaja raketipun patunggilan, punapa déné tékad sediya ngelar jajahaning keratonipun Gusti Yesus Kristus.”
Tujuan ini tampil secara eksplisit dalam sampul edisi perdana. Seseorang berpakaian Jawa, komplit dengan blangkon, sarung dan destar, digambarkan berjalan di bawah terbitnya matahari, dengan membawa majalah di tangannya. Ia tampak menuju sebuah desa yang muncul di ufuk. Jelas gambar sampul ini ingin memunculkan ide, Duta adalah “duta” dalam pengertian sebenarnya.
cari Google Map
Memang Duta bukan satu-satunya majalah yang pernah diterbitkan umat Kristen di Jawa Timur. Sejak 1857 di kalangan NZG di Jawa Timur sudah beredar Mededeelingan yang merupakan media resmi organisasi penginjil tersebut, selain De Opwekker dan De Macedoniër. Saat Duta terbit, telah ada media lain di antara umat Kristen Jawa, seperti Het Swaru Blaadje dari jemaat Kristen Swaru, Malang Selatan, dan Majawarna Bode dari jemaat Mojowarno, Jombang.
Lalu apa yang menyebabkan Duta menjadi sesuatu yang khas, bahkan memiliki arti eksistensial?
Pertama, karena Duta adalah media yang diterbitkan pada suatu tingkatan regional, dan bukan lokal seperti Het Swaru Blaadje atau Majawarna Bode. Identitas Duta sejak awal sudah dinyatakan tegas sebagai serat wulanan GKJW. Isinya merangkum aspirasi jemaat Kristen Jawa pada tingkatan Jawa Timur dan tidak mencerminkan kepentingan zending sebagaimana yang dibawa Mededeelingen, De Opwekker atau De Macedoniër. Isinya pun ditulis dengan Bahasa Jawa dan Melayu, bukan Belanda.
Kedua, majalah ini merupakan salah satu simpul dari keinginan orang Kristen Jawa mendapat identitas di dalam arus perubahan yang saat itu melanda Hindia Belanda. Arus perubahan adalah kata kunci yang menyertai zaman transisi menuju kemerdekaan, ketika berbagai partai pribumi tumbuh dan mekar, ketika kata “nasionalisme” mulai terdengar santer. Dengan kata lain, Duta adalah media yang menjadi cerminan dari suatu kemauan zaman untuk bergerak.
***
Sebagaimana ihwal GKJW, sebagai pers gereja Duta kerap mengalami pasang surut. Antara 1950-1956 sebagian saja edisi Duta yang dapat terbit. Juga antara 1958-1976, majalah ini menghilang.
Majalah ini sempat vakum selama beberapa tahun dan sebenarnya baru benar-benar terbit secara teratur sejak 1993 sampai sekarang (2008). Jumlah pelanggannya juga tidak pernah berubah drastis. Oplagnya tidak mengalami peningkatan berarti dari tahun 1941 (terakhir Duta terbit di zaman Hindia Belanda) walau umat GKJW bertambah dari 18.000 menjadi sekitar 125.000 jiwa.
Beberapa tahun terakhir saya mendengar dari teman-teman di redaksi Duta, kehidupan majalah ini semakin sulit. Mungkin karena GKJW adalah salib kristus yang dipikul di tengah-tengah umat yang miskin, maka memelihara sebuah majalah gereja akhirnya menjadi barang mewah.
Walau telah beberapa kali mengalami mati suri (setidaknya pada periode 1958-1976 dan 1988-1993) saya harus menerima kenyataan suatu saat majalah ini akan masuk kembali ke masa tidur panjang.
Persis kisah Putri Salju yang tidur selama bertahun-tahun, tampaknya Duta di akhir 2008 akan mengikuti dongeng ini. Hanya saja, berbeda dengan Putri Salju –untuk Duta tidak bisa dipastikan kapan dia akan dibangkitkan kembali.
Bila artikel pertama saya di Duta adalah tentang ruwatan yang merupakan suatu ritual untuk membersihkan ancaman oleh Sang Jahat, maka kini saya berpikir, apakah Duta sebenarnya dihadirkan untuk mengusir kegelapan dan kebutaan aksara. Bagaimana jika majalah ini lantas tidak terbit lagi?
Saya teringat pada teman-teman semasa bergaul di Duta. Sebagian dari mereka masih saya ingat dengan jelas, walau perlahan kenangan itu bisa mengabur karena daya ingat manusia menurun.
Walaupun demikian, bagi saya: mereka adalah komunitas cerdas dan telah mencerdaskan. Bila mereka bubar, barangkali ini adalah kehilangan besar kedua bagi GKJW setelah Duta itu sendiri.